Mario menatap Alyssa yang berbaring
di kasurnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Sedari tadi yang dilakukan
oleh wanita itu hanya menangis setelah bertemu dengan orang tua tirinya dan
kakak kandungnya. Mario tidak bisa tinggal diam. Dia harus bisa menyusun teka
teki kehidupan Alyssa yang masih membingungkan.
Mario melirik jam tangannya yang
saat ini sudah menunjukkan pukul 2 dini hari. Mario menghela nafas karena baru
menyadari waktu sudah berlalu begitu cepat. Pria itu mengamati wajah Alyssa
kembali dalam jarak dekat, wajah perempuan itu memerah, jika Alyssa membuka
mata, pasti kedua matanya akan membengkak.
Mario mengambil handphonenya
kemudian menghubungi Pak Adit untuk meminta sebuah pertolongan.
“Hallo
Yah. Rio butuh bantuan Ayah.”
“Beberapa
jam yang lalu Rio ketemu sama keluarga Alyssa di Mall, tetapi saat bertemu
mereka Alyssa malah menunjukkan raut wajah ketakutan. Rio mau minta bantuan
Ayah buat menyelidiki hal itu. Mungkin Ayah bisa membantu Rio dari hal terkecil
dulu dan langsung melaporkannya sama Rio.”
“Maaf
Rio mengganggu Ayah di jam segini.”
“Iya
Yah, terima kasih.”
Mario menghela nafasnya kemudian
memutusskan untuk berbaring di sebelah Alyssa dan memeluk wanita itu dengan
posesif. ‘Aku akan membuat mereka bersujud dan memohon permintaan maaf kamu.
Aku berjanji’.
**********
Gabriel mengusap wajahnya kasar. Dia
masih mengingat dengan jelas apa yang dia lakukan dengan Shilla. Wanita yang
dibencinya dan sangat ingin dijauhinya. Tetapi apa yang mereka lakukan kemarin
? Itu benar-benar tidak menunjukkan bahwa wanita itu adalah wanita yang
dibencinya. Karena Gabriel merasakan kenyamanan dan tidak ada keterpaksaan saat
menyentuh wanita itu malah membuatnya ingin lagi dan lagi.
Pria
itu menggeleng. “Sepertinya gue udah gila.”
Sejujurnya Gabriel sedikit menyesal
melakukan hal tersebut. Tetapi melihat saat berhubungan kemarin dia tidak
sedikitpun melihat noda darah yang kata orang akan muncul saat seorang wanita
baru pertama kali melakukan hubungan, membuatnya sangat yakin bahwa wanita itu
sudah melakukan hal tersebut sebelumnya. Mengingat itu membuat Gabriel
tersenyum sinis. Ternyata benar apa yang dipikirkannya tentang wanita itu.
Gabriel bergegas bangkit kemudian
mulai memasuki bagian keuangan. Dia melakukan tinjau langsung kinerja pegawai
seperti biasanya. Seharusnya tidak saat ini, tetapi dia ingin melihat reaksi
Shilla saat bertemu dengan dirinya.
“Selamat
pagi Pak Gabriel.”
Gabriel hanya tersenyum melihat
semua orang yang bertemu dengannya menundukkan wajahnya sopan saat bertemu
dengan dirinya. Gabriel dengan percaya diri masuk ke ruangan besar yang ia
yakini adalah ruangan bagian keuangan. Dia kembali bertemu dengan Sarah-Ketua
Bagian Keuangan yang sangat dipercayainya, setidaknya sampai saat ini.
“Bagaimana
mereka ?”
“Hari
ini ada dua pegawai yang tidak masuk Pak. Sudah saya kirim surat mereka ke
sekretaris Bapak.”
“Shilla
?” Tebak Gabriel langsung.
“Tidak
pak. Shilla ada di ruangan.”
Gabriel hanya mengangguk seraya
tersenyum miring. Bahkan setelah perbuatan yang mereka lakukan wanita itu tidak
merasakan kesakitan hingga masuk di jam kerja seperti ini.
“Mari
Pak.”
Gabriel memasuki ruangan besar
tersebut yang terdapat banyak karyawan yang semuanya fokus untuk mengerjakan
pekerjaannya. Gabriel meminta Sarah tidak mengikutinya dan mulai berkeliling
kemudian bertanya pada beberapa pegawai. Dan saatnya dia berhenti di meja
Shilla. Wanita itu masih sibuk mengerjakan pekerjaannya tanpa menyadari
kehadirannya seperti biasa.
“Ehem.”
Shilla mendongak kemudian matanya
bertemu dengan mata Gabriel yang selalu membuatnya lupa akan segalanya. Shilla
kembali menundukkan wajahnya dalam menyadari jika ia sudah terlalu lama menatap
atasannya.
“Ada
yang kamu keluhkan Shil ?”
“Tidak
Pak. Semuanya baik-baik saja.”
Gabriel terdiam seraya melihat wajah
wanita itu dengan seksama. Wajah gadis itu sedikit pucat. Gabriel berjalan
masuk dan berhenti di belakang wanita itu untuk melihat apa yang sedang dia
lakukan. Tidak perduli apakah dia menjadi tontotan para pegawai disana atau
tidak.
Shilla tiba-tiba menjadi kaku saat
ingin menggerakkan jemarinya di atas keyboard. Menyadari jika posisi dia dan
atasannya ini sangatlah dekat. Mengingat kejadian kemarin membuat kedua pipinya
bersemu merah. Dia sebenarnya sangat canggung jika harus bertatapan dengan
Gabriel saat ini.
“Terima
kasih untuk kemarin Shilla. Luar biasa. Saya sangat tidak menyangka jika
permainan kamu seluar biasa itu. Mungkin lain kali kita bisa melakukannya
lagi.”
Shilla tersentak dengan ucapan
Gabriel. Tubuhnya menegang dan matanya terasa panas. Apalagi saat pria itu
menaruh benda putih di atas mejanya yang ia sadari itu amplop yang pastinya di
dalamnya terdapat sejumlah uang. Shilla menahan agar air matanya tidak tumpah.
“Kalau
kurang bilang aja. Saya akan menambah seperti yang kamu mau.”
Gabriel kemudian berlalu dari
ruangan itu dan memutuskan untuk kembali ke ruangannya tanpa menyadari Shilla
sudah mengepalkan kedua tangannya untuk menahan agar air matanya tidak tumpah.
Dengan perasaan marah, dia mengambil amplop itu dan mengikuti langkah Gabriel.
Gabriel berhenti berjalan saat
dirasakan punggunya menerima lemparan sebuah benda. Dia berbalik dan menemukan
Shilla disana. Gabriel melihat bahwa amplop yang tadi ia berikan pada wanita
itu tergeletak di lantai. Dia kembali menatap Shilla.
Gabriel melihat sekeliling dan
berjalan mendekat ke arah wanita itu kemudian menariknya untuk ikut bersamanya
ke sebuah ruangan dimana hanya ada dia dan wanita itu. Dia tidak akan mau jika
seluruh pegawainya tahu apa yang sudah ia lakukan. Bisa bahaya jika mereka
semua tahu.
Gabriel membawa Shilla ke ruangannya
pada akhirnya. Karena disanalah dia bisa berbicara aman dengan siapa saja tanpa
merasa ada yang mendengar pembicarannya karena ruangannya yang kedap suara.
“Apa
maksud kamu Shilla. Kurang ?”
PLAK
Gabriel memejamkan matanya erat
melihat Shilla yang sangat berani menampar dirinya. Dia tersenyum sinis
kemudian tertawa pelan.
“Kalau
kurang ngomong aja. Aku punya banyak uang kalau kamu mau tahu.”
Dengan kurang ajarnya Gabriel
mengeluarkan dompetnya dan mengambil beberapa lembar disana dan memberikannya
pada Shilla. Shilla menerimanya membuat Gabriel tersenyum sinis.
“Sekarang
kamu boleh ...”
Gabriel menganga melihat Shilla
melempar uangnya ke depan wajahnya membuat uang uang tersebut jatuh
berhamburan. Dia menatap tajam wanita itu. Habis sudah kesabarannya. Dia
mencengkram bahu wanita itu dengan eratnya membuat Shilla meringis pelan
menahan rasa sakit disana.
“Apa
maksud loe jalang ?”
“Gue
bukan jalang. Dan apa maksud loe dengan memberikan gue uang.” Teriak Shilla.
“Bukan
jalang ? Loe menerima begitu aja saat gue mencoba untuk melakukan itu sama loe.
Dan gue udah memberikan banyak kesempatan sama loe untuk loe bisa kabur atau
melepaskan diri dari gue, tapi apa ? Loe menerimanya dengan sukarela. Apa itu
kalau loe bukan jalang ?”
Shilla mencoba untuk menampar
Gabriel kembali tetapi tangannya di tahan oleh pria itu.
“Loe
mau main-main sama gue.” Desis Gabriel terlihat marah.
“Lepas.”
“Ah
gue tahu, loe sok mencari keributan sama gue supaya kita bisa ngelakuin
hubungan itu lagi ? Loe sengaja ? Kenapa gue gak terpikirkan sama sekali.”
Shilla menghapus kasar butiran air
matanya yang tanpa bisa ia cegah sudah turun melewati kedua pipinya. Shilla
masih mencoba untuk melepaskan tangannya dengan menendang kaki pria itu. Dan saat
Gabriel menjerit kesakitan dia segera kabur ke luar. Tapi hal itu tidak terjadi
karena Gabriel menahan lenganya dan mendorongnya sampai ia jatuh ke atas sofa.
Sofa tersebut adalah tempat ia melakukan hubungan itu dengan Gabriel. Dan ia
tidak mau terulang kembali untuk kedua kalinya saat pria itu menganggap dirinya
hanya wanita jalang.
“Lepasin
gue. Tolooong.”
Gabriel tersenyum miring menatap Shilla
yang sudah tidak berdaya di bawahnya. “Loe gak akan menemukan siapapun yang
bisa menolong loe saat ini. Gak usah berpura-pura lagi Shill, karena gue tahu
loe sangat suka saat kita melakukan ini.”
Shilla masih berontak. Air matanya turun
bertambah deras saat wanita itu menahan agar tidak sesenggukan di hadapan pria
yang sangat dicintainya tetapi selalu melukai hatinya itu.
Gabriel mencoba untuk mencium bibir
Shilla saat wanita itu terus menerus berontak ingin dilepaskan. Gabriel tidak
perduli dan terus memaksa.
“Lepas
Gab. Aku mohon.”
Gabriel menulikan pendengarannya
mendengar permohonan wanita itu. Dia mencoba untuk membuat tanda di leher
jenjang Shilla. Shilla mencoba berontak sekali lagi tetapi tidak berhasil
karena Gabriel menekan lengannya erat sampai ia tidak bisa menggerakanya.
Shilla memejamkan matanya erat dengan air mata yang selalu turun.
Gabriel menahan kedua tangan Shillla
dengan satu tangannya dan tangan lainnya ia gunakan untuk meraba keseluruhan
tubuh wanita itu. Tangannya dengan cekatan membuka kancing kemeja Shilla hingga
terbuka seluruhnya. Gabriel kemudian mulai menggerakkan tangannya disana.
“Lepas.
Aku gak mau Gab. Lepasin, aku mohon. Siapapun tolong aku.” Teriak Shilla seraya
berusaha mencegah Gabriel menyentuhnya.
Tetapi Gabriel tidak perduli. Dia
terus saja melakukan sesuatu yang ingin dilakukannya saat ini. Dan kejadian itu
terulang kembali. Gabriel tidak menyadari jika apa yang sudah ia lakukan saat
ini akan membuatnya menyesal seumur hidupnya.
**********
Mario menatap berkas di hadapannya
dengan rasa keingintahuan yang besar. Dia menatap Pak Adit yang saat ini
berdiri di hadapannya.
“Itu
Nak berkas-berkas yang mungkin kamu butuhkan untuk tahu mengenai keluarga
Alyssa. Ayah masih berusaha mencarinya kembali.”
“Iya
Yah. Terima kasih banyak. Maaf Rio merepotkan. Ayah bisa kembali.”
Pak Adit kemudian berjalan ke luar
ruangan Mario. Mario mulai membuka berkas-berkas itu kemudian mulai membacanya
dengan seksama. Alyssa hari ini tidak berangkat kantor karena wajah wanita itu
yang tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Akhirnya dengan perseteruan yang
panjang, Mario berhasil membuat wanita itu hanya berbaring di ranjangnya.
“Randy
Fathasar. Gue seperti pernah mendengar nama ini.” Mario mengamati kertas yang
berisi mengenai kakak kandung Alyssa.
Dia merasa pernah mendengar nama
kakak kandung Alyssa. Tetapi dia sama sekali tidak bisa mengingatnya.
Sepertinya sudah lama sekali.
Dering ponsel memecah kesunyian.
Mario melirik nama si pemanggil dan merasa malas mengangkatnya saat tahu jika
papanya lah yang menelepon. Mario membiarkannya saja sampai deringnya berhenti
dalam cukup waktu yang lama. Kemudian ada pesan masuk. Dengan malas Mario
membukanya.
‘Jawab
panggilan Papa Mario.’
Hanya berisi seperti itu pesannya
tapi membuat Mario merasakan ada yang tidak beres disini. Jika Pak Bara sudah
meninggalkan pesan yang sangat sedikit seperti itu artinya Mario tidak bisa
membantahnya.
Beberapa saat kemudian ada panggilan
masuk kembali dan Mario langsung mengangkatnya.
“Ada
apa pah.”
“Rio
sibuk. Maaf.”
Mario tersentak saat Pak Bara
mengingatkan bahwa semalam seharusnya dia ke rumah. Dan Mario memejamkan
matanya erat saat ingat bahwa tadi malam dia malah berjalan-jalan dengan Alyssa
ke mall. Mario mengutuk kembali kesalahannya. Dia benar-benar lupa. Untuk
handphone’nya sengaja ia matikan sepulang kantor karena tidak ingin ada yang
mengganggunya.
“Maaf
Pa, untuk yang satu itu Rio benar-benar lupa. Semalam Rio ada lembur di kantor.
Dan handphone.nya mati karena kehabisan baterai. Rio lupa charge.” Jawab Mario saat Pak Bara meminta alasan mengapa ia tidak
datang tadi malam.
Mario
hanya mendengarkan saja omelan-omelan yang dilontarkan oleh Pak Bara diujung
sana. Bahkan sempat-sempatnya Rio membaca berkas-berkas di hadapannya saat dia
sedang berbicara dengan ayahnya.
“Iya.
Rio akan kesana.”
Mario langsung menutup panggilannya
begitu saja walaupun sebenarnya dia tahu Pak Bara belum selesai berbicara
dengannya. Tapi sejak kapan Mario perduli ? Dia tidak akan pernah perduli.
Seperti Papanya yang tidak perduli padanya. Sejak kecil Mario selalu ditinggal.
Bahkan saat di sekolahnya dulu membutuhkan orang tua untuk hadir di kelulusan,
Papanya tidak datang dan lebih memilih pekerjaannya. Mengingat itu membuat Rio
malas melakukan apapun.
Mario kembali memegang handphonenya
dan langsung mendial angka 1 yang akan menghubungkannya langsung dengan Alyssa.
Lebih baik dia bercengkrama dengan wanita itu daripada memikirkan hal-hal yang
sangat tidak ingin diingatnya.
“Hallo
sayang. Lagi ngapain ?”
Alyssa yang saat itu sedang menyusun
pakaiannya di lemari pakaian saat menerima kiriman dari laundry langsung
mengangkat panggilan begitu nama Mario muncul di handphone’nya.
“Hallo.”
“Hallo
sayang. Lagi ngapain ?” Tanya Mario membuat Alyssa terkekeh.
“Lagi
nyusun pakaian. Kamu lagi gak sibuk ? Sempet-sempetnya nelepon kesini.”
“Aku
Cuma bisa sibuk sama kamu.”
Alyssa hanya tertawa tanpa membalas.
Mario terdiam cukup lama kemudian dia langsung mengatakan maksud dia memanggil
wanita itu.
“Aku
lupa ke rumah Papa tadi malem. Ini juga salah kamu karena aku udah ngingetin
kamu dan kamu gak ngingetin aku balik.”
“Loh,
yang ngajakkin aku ke mall siapa ? Kok jadi nyalahin orang ?”
“Ya
salah kamu lah. Kalau aja kamu ngingetin aku, aku gak akan ngajak kamu
jalan-jalan tapi ke rumah Papa.”
“Dasar
bossy. Suka banget nyalahin orang.”
“Nanti
malem kita kesana. Berdua sama aku.”
“Kamu
aja deh Mario. Aku lagi males banget kemana-mana hari ini.”
“Setelah
aku pulang ngantor aku akan ke apartment. Kamu siap-siap. Dan aku gak terima
bantahan apapun.”
“Sifat
kamu yang satu itu gak akan pernah hilang sepertinya.”
“Aku
tersiksa banget gak ada kamu disini. Kamu mending istirahat sekarang, karena
pulang dari rumah Papa sepertinya kita akan menghabiskan malam yang panjang
karena dari kemarin aku belum nyentuh kamu barang sedikitpun. Kangennya aku
udah nyampe puncak sayang. Kamu gak bakalan tega sama aku.”
“You’re crazy.”
“Because of you like
usually.” Mario menjawab seraya tertawa membuat Alyssa
mendesis pelan di ujung sana.
“Udah,
aku matiin. Kamu semakin gila tahu.”
Mario masih tertawa bahkan sampai
panggilannya sudah terputus sedari tadi. Dia menyenderkan tubuhnya pada sofa.
Setengah jam lagi dia akan ada pertemuan rapat besar seperti biasa. Dia
mengambil foto kakak kandung Alyssa dan mengamatinya sekali lagi. Mario merasa
dia pernah bertemu sebelumnya dengan kakak kandung Alyssa mengingat nama pria
itu tidak asing di telinganya.
“Lebih
baik gue fokus dulu buat rapat nanti.”
**********
Alvin membenarkan jasnya seraya
turun dari mobil. Dia menatap bangunan menjulang di hadapannya. Smartness Corp.
Salah satu perusahaan yang sering bekerja sama dengan perusahaannya. Alvin
melangkah masuk ke dalam dengan dikawal oleh beberapa bodyguard pria itu.
Biasanya perwakilan dari Smartness yang akan datang ke perusahaannya. Tetapi
kali ini Alvin dengan baik hatinya datang kesini karena permintaan pemilik
perusahaan ini dengan alasan CEO perusahannya sudah berganti.
Alvin mengangguk menatap sekeliling.
Bangunannya tidak luas seperti perusahannya tetapi menjulang tinggi. Ada 20
lantai di Smartness membuat Alvin berdecak karena arsitekturnya yang bisa
memanjakan mata saat menatapnya.
“Mari
Pak saya antar sampai ruangan Ibu.”
Alvin mengernyit kemudian
mengangguk. Ibu ? Artinya CEO perusahaan ini adalah seorang wanita ? Wah, Alvin
hampir tidak bisa mempercayai Smartness melihat pimpinannya adalah seorang
wanita. Di pikirannya, seorang wanita itu hanya bisa berbelanja dan
menghabiskan banyak uang. Siapa sangka, pimpinan baru di Smartness adalah
seorang wanita.
“Silahkan
masuk Pak, Ibu sudah menunggu di dalam.”
Alvin menatap seorang wanita yang
diyakini Alvin adalah pegawai receptionist yang tadi sempat ia temui. “Terima
kasih.”
Dengan langkah pasti dia memasuki
ruangan yang ia yakini adalah ruangan Direktur di Smartness.
“Selamat
datang di perusahaan ka .... Alvin.”
Alvin terkejut saat mengetahui bahwa
Direktur Smartness adalah seorang wanita yang sangat dikenalnya. Kemudian Alvin
memberikan senyuman manisnya kepada wanita itu seraya berjalan mendekat.
“Wah,
dunia begitu sempit sampai kita dipertemukan dalam suasana seperti ini Ibu
Zahra Ratu Annisa yang terhormat.”
Alvin bisa melihat wanita di
hadapannya yang mengepalkan kedua tangannya. Alvin tidak bodoh untuk mengetahui
bahwa Zahra sangat tidak menyukainya.
“Ngapain
loe kesini.”
Alvin terkekeh kemudian berjalan ke
arah sofa yang ada di ruangan Zahra seraya menatap ke sekeliling. Terakhir dia
kesini ruangannya sangat maskulin karena direktur sebelumnya seorang laki-laki,
tetapi sekarang ruangannya sangat girly walaupun masih terlihat sopan dan
nyaman untuk ditempati.
“Selamat
menjadi Direktur yang baru di perusahaan ini Ibu Zahra. Saya sangat tidak
menyangka bahwa wanita manja seperti Anda bisa menjadi seorang Direktur.”
“Loe.”
“Yaps
benar. Gue adalah Direktur William Sanders Corp.”
Alvin menatap Zahra yang hanya
berdiri diam di tempatnya. Alvin dengan berani mendekat kesana dan berdiri tepat
disamping wanita itu. Pria itu menyilangkan kedua tangannya di depan dada
seraya menatap wajah wanita itu.
“Sepertinya
gue merasa menyesal karena pernah menyia-nyiakan loe dulu. Loe semakin cantik
dan seksi.” Bisik Alvin di telinga wanita itu membuat Zahra refleks menimpuk
kepala pria itu menggunakan penggaris yang ada diatas mejanya.
“Loe
jangan kurang ajar ya.” Desis Zahra seraya mentap pria di hadapannya yang masih
mengelus-ngelus kepalanya.
“Loe
gak lupa kan. Sebelum loe ngejar-ngejar Mario, loe lebih dulu ngejar-ngejar
gue. Karena gue waktu itu udah punya pasangan aja loe akhirnya beralih ke
Mario. Gue tahu loe masih cinta sama gue bahkan hingga saat ini.”
“In your dream.”
Zahra dengan cepat menekan beberapa
digit nomor.
“Halo
pak. Tolongan ke ruangan saya sekarang juga dan seret ...”
Alvin dengan cepat menekan tombol merah
disana untuk mengakhiri obrolan Zahra yang mungkin saja dengan penjaga disini.
Pria itu kemudian menarik pinggang wanita itu hingga Zahra benar-benar menempel
padanya sekarang.
“Wah.
Gue ngerasa sangat gak dihargai disini. Gue Direktur William Sanders datang
kesini jauh-jauh dan loe ngusir gue seenaknya. Gue bisa aja laporin loe ke Pak
Andre tentang sikap gak sopan loe sama gue barusan. Dan loe lihat aja apa yang
akan terjadi dengan perusahaan loe setelahnya.”
Zahra menatap tajam pria di
hadapanya. Dia sangat menyesal mengapa Ayahnya bisa bekerja sama dengan
perusahaan Alvin. Jika saja ayahnya tidak memohon padanya untuk menggantikannya
menjadi pemimpin perusahaan sudah pasti dia tidak akan mau berdiri disini sekarang.
“Ayo
kita bicarakan masalah pekerjaan, dan jangan sangkut pautkan masalah pribadi
kita satu sama lain saat sedang berada di perusahaan.”
“Deal.”
**********
Mario memegang pinggang Alyssa
kemudian menuntun wanita itu untuk masuk ke dalam rumahnya. Banyak bodyguard
disana yang menyapa mereka dengan sopan. Mario tidak memperdulikan tetapi
berbeda dengan Alyssa. Dia tidak bisa mengabaikan mereka semua. Apalagi ini di
rumah pria di sampingnya.
“Tenang
aja Alyssa. Papa gak bakal ngapa-ngapain selama aku ada di samping kamu.”
Mario merasakan bahwa tubuh wanita
itu begitu tegang. Terbukti pada telapak tangan wanita itu yang berkeringan
entah karena apa. Mario berhenti berjalan kemudian memegang kedua bahu Alyssa
agar menghadap kearahnya.
“Keep
Calm, okey ? Gak akan terjadi apa-apa. Percayalah. Aku gak akan pernah
mengijinkan siapapun untuk menyakiti kamu.”
Alyssa mengangguk. Mario tersenyum
kemudian menggenggam tangan wanita itu dan membawa Alyssa masuk ke dalam. Dia
melihat Papanya sudah menunggu. Pria paruh baya itu sedang duduk diatas sofa
dan saat melihat putranya, dia segera menyuruh Mario untuk duduk di sofa lain
di hadapannya.
Mario merasakan jika Papanya menatap
Alyssa dengan tatapan menilai. Wanita di sampingnya pasti mengetahuinya.
Wajahnya sedari tadi hanya ia tundukan dan tidak berani melihat sekitar.
Melihat Mario saja dia tidak berani.
“Papa
akan membuatnya ketakutan jika Papa selalu memasang wajah seperti itu.” Desis
Mario merasa marah dengan sikap Papanya.
“Papa
tidak meminta kamu kesini dengan membawa perempuan jalang itu Mario. Papa
menyuruhmu datang sendiri.”
“Alyssa
bukan wanita jalang.” Teriak Mario marah. Dia menatap wajah Papanya dengan
tajam. “Jika tidak ada yang dibicarakan, Mario pergi.”
“Kamu
tahu apa akibatnya Mario jika kamu melangkahkan kaki kamu keluar dari rumah ini
sebelum Papa menyetujuinya.”
Ucapan ayahnya membuatnya duduk
kembali. Dia terus menggenggam tangan Alyssa yang bertambah dingin sekarang.
Dia terus mengelus tangan wanita itu dengan lembut berharap bisa mengurangi
kegugupannya.
“Wanita
di samping Mario adalah Alyssa. Dia calon pendamping Mario. Terlepas Papa suka
atau tidak Mario akan tetap bersama Alyssa.”
Mario lebih memilih untuk
menjelaskan Alyssa dan perasaannya. Dia tidak perduli dengan tanggapan papanya.
Dia tidak perduli dengan restu Papanya. Karena baginya, sangat tidak penting
restu Papanya mengingat apa yang sudah pria paruh baya itu lakukan kepada
dirinya selama ini.
“Setelah
sebelumnya kamu hanya diam saat Papa menjodohkan kamu dengan rekan bisnis Papa,
sekarang kamu memperkenalkan wanita ini ? Kamu jangan bercanda Mario.”
Alyssa tersentak. Perjodohan ? Dia
langsung menatap Mario tajam. Selama ini Mario tidak pernah mengatakan kepada
dirinya jika pria itu terlibat perjodohan. “Aku janji sayang, setelah ini akan
aku jelaskan.” Bisik Mario berharap Alyssa mengerti mengapa sampai saat ini dia
tidak menceritakan mengenai perjodohan sialan itu.
“Mario
gak suka sama dia. Mario diam bukan berarti Mario menerima. Papa sangat tahu
itu.”
“Wanita
yang ada di samping kamu itu hanya seorang pekerja club malam. Dan asal-usul
keluarganya juga pendidikannya tidak jelas Mario. Bagaimana bisa kamu bersama
dengan wanita seperti itu. Papa sangat tidak setuju.”
Mario bangkit berdiri kemudian
mengajak Alyssa ikut berdiri juga. Dia menatap wajah Papanya dengan malas.
“Gak
usah papa kasih tau, Mario udah tahu semuanya tentang Alyssa. Kalau hanya itu
yang mau papa katakan, sebaiknya Mario benar-benar pergi dari sini.”
“Mama
kamu mau bertukar Mario. Dia ingin bertemu kamu. Dan sebagai gantinya kakak
kamu yang akan tinggal disini bersama Papa.”
Mario mengepalkan kedua tangannya
erat-erat.
“Mario
bukan barang. Silahkan jika Papa memang menginginkan kak Marcel untuk tinggal
disini bersama Papa. Bawa saja Mama sekalian tinggal disini bersama kalian.
Mario tidak perduli.”
Mario berjalan ke luar rumah seraya
mengepalkan tangan kirinya. Sedangkan tangan kananya menggenggam erat tangan
Alyssa. Perkataan Pak Bara selanjutnya membuatnya berhenti berjalan tiba-tiba.
“Jika
kamu berani keluar rumah saat ini juga. Papa tidak akan menganggap kamu sebagai
anak lagi Mario.”
Mario tersenyum sinis kemudian
membalikan tubuhnya menghadap papanya. Sedari tadi Alyssa hanya mendengarkan pembicaraan
Ayah dan anak itu dan tidak ingin ikut campur di dalamnya. Bisa wanita itu
rasakan, Mario sangat membenci ayahnya entah untuk alasan apa.
“Itu
yang saya inginkan. Mulai saat ini, saya akan melepas nama Raditya di belakang
nama saya, Tuan Bara Raditya yang terhormat.”
**********
PART 14 DONE :)
Semoga kalian suka ^_^
Jangan lupa tinggalin jejak guys, biar aku tahu kalian pernah berkunjung kesini :)
VOTE and COMMENT
I'm waiting you to read this story and your comment ^_^
Semakin banyak yang ninggalin jejak, maka akan semakin semangat gue nulisnya :D
Semakin banyak yang ninggalin jejak, maka akan semakin semangat gue nulisnya :D
sukak :D
BalasHapusKerenn...!!
BalasHapusLanjutannya jngan lama2 ya...