Senin, 23 Januari 2017

Love in Danger - Part 14 (RIFY)

Part sebelumnya KLIK DISINI

PART 14




            Mario menatap Alyssa yang berbaring di kasurnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Sedari tadi yang dilakukan oleh wanita itu hanya menangis setelah bertemu dengan orang tua tirinya dan kakak kandungnya. Mario tidak bisa tinggal diam. Dia harus bisa menyusun teka teki kehidupan Alyssa yang masih membingungkan.

            Mario melirik jam tangannya yang saat ini sudah menunjukkan pukul 2 dini hari. Mario menghela nafas karena baru menyadari waktu sudah berlalu begitu cepat. Pria itu mengamati wajah Alyssa kembali dalam jarak dekat, wajah perempuan itu memerah, jika Alyssa membuka mata, pasti kedua matanya akan membengkak.

            Mario mengambil handphonenya kemudian menghubungi Pak Adit untuk meminta sebuah pertolongan.

“Hallo Yah. Rio butuh bantuan Ayah.”

“Beberapa jam yang lalu Rio ketemu sama keluarga Alyssa di Mall, tetapi saat bertemu mereka Alyssa malah menunjukkan raut wajah ketakutan. Rio mau minta bantuan Ayah buat menyelidiki hal itu. Mungkin Ayah bisa membantu Rio dari hal terkecil dulu dan langsung melaporkannya sama Rio.”

“Maaf Rio mengganggu Ayah di jam segini.”

“Iya Yah, terima kasih.”

            Mario menghela nafasnya kemudian memutusskan untuk berbaring di sebelah Alyssa dan memeluk wanita itu dengan posesif. ‘Aku akan membuat mereka bersujud dan memohon permintaan maaf kamu. Aku berjanji’.

**********

            Gabriel mengusap wajahnya kasar. Dia masih mengingat dengan jelas apa yang dia lakukan dengan Shilla. Wanita yang dibencinya dan sangat ingin dijauhinya. Tetapi apa yang mereka lakukan kemarin ? Itu benar-benar tidak menunjukkan bahwa wanita itu adalah wanita yang dibencinya. Karena Gabriel merasakan kenyamanan dan tidak ada keterpaksaan saat menyentuh wanita itu malah membuatnya ingin lagi dan lagi.

Pria itu menggeleng. “Sepertinya gue udah gila.”

            Sejujurnya Gabriel sedikit menyesal melakukan hal tersebut. Tetapi melihat saat berhubungan kemarin dia tidak sedikitpun melihat noda darah yang kata orang akan muncul saat seorang wanita baru pertama kali melakukan hubungan, membuatnya sangat yakin bahwa wanita itu sudah melakukan hal tersebut sebelumnya. Mengingat itu membuat Gabriel tersenyum sinis. Ternyata benar apa yang dipikirkannya tentang wanita itu.

            Gabriel bergegas bangkit kemudian mulai memasuki bagian keuangan. Dia melakukan tinjau langsung kinerja pegawai seperti biasanya. Seharusnya tidak saat ini, tetapi dia ingin melihat reaksi Shilla saat bertemu dengan dirinya.

“Selamat pagi Pak Gabriel.”

            Gabriel hanya tersenyum melihat semua orang yang bertemu dengannya menundukkan wajahnya sopan saat bertemu dengan dirinya. Gabriel dengan percaya diri masuk ke ruangan besar yang ia yakini adalah ruangan bagian keuangan. Dia kembali bertemu dengan Sarah-Ketua Bagian Keuangan yang sangat dipercayainya, setidaknya sampai saat ini.

“Bagaimana mereka ?”

“Hari ini ada dua pegawai yang tidak masuk Pak. Sudah saya kirim surat mereka ke sekretaris Bapak.”

“Shilla ?” Tebak Gabriel langsung.

“Tidak pak. Shilla ada di ruangan.”

            Gabriel hanya mengangguk seraya tersenyum miring. Bahkan setelah perbuatan yang mereka lakukan wanita itu tidak merasakan kesakitan hingga masuk di jam kerja seperti ini.

“Mari Pak.”

            Gabriel memasuki ruangan besar tersebut yang terdapat banyak karyawan yang semuanya fokus untuk mengerjakan pekerjaannya. Gabriel meminta Sarah tidak mengikutinya dan mulai berkeliling kemudian bertanya pada beberapa pegawai. Dan saatnya dia berhenti di meja Shilla. Wanita itu masih sibuk mengerjakan pekerjaannya tanpa menyadari kehadirannya seperti biasa.

“Ehem.”

            Shilla mendongak kemudian matanya bertemu dengan mata Gabriel yang selalu membuatnya lupa akan segalanya. Shilla kembali menundukkan wajahnya dalam menyadari jika ia sudah terlalu lama menatap atasannya.

“Ada yang kamu keluhkan Shil ?”

“Tidak Pak. Semuanya baik-baik saja.”

            Gabriel terdiam seraya melihat wajah wanita itu dengan seksama. Wajah gadis itu sedikit pucat. Gabriel berjalan masuk dan berhenti di belakang wanita itu untuk melihat apa yang sedang dia lakukan. Tidak perduli apakah dia menjadi tontotan para pegawai disana atau tidak.

            Shilla tiba-tiba menjadi kaku saat ingin menggerakkan jemarinya di atas keyboard. Menyadari jika posisi dia dan atasannya ini sangatlah dekat. Mengingat kejadian kemarin membuat kedua pipinya bersemu merah. Dia sebenarnya sangat canggung jika harus bertatapan dengan Gabriel saat ini.

“Terima kasih untuk kemarin Shilla. Luar biasa. Saya sangat tidak menyangka jika permainan kamu seluar biasa itu. Mungkin lain kali kita bisa melakukannya lagi.”

            Shilla tersentak dengan ucapan Gabriel. Tubuhnya menegang dan matanya terasa panas. Apalagi saat pria itu menaruh benda putih di atas mejanya yang ia sadari itu amplop yang pastinya di dalamnya terdapat sejumlah uang. Shilla menahan agar air matanya tidak tumpah.

“Kalau kurang bilang aja. Saya akan menambah seperti yang kamu mau.”

            Gabriel kemudian berlalu dari ruangan itu dan memutuskan untuk kembali ke ruangannya tanpa menyadari Shilla sudah mengepalkan kedua tangannya untuk menahan agar air matanya tidak tumpah. Dengan perasaan marah, dia mengambil amplop itu dan mengikuti langkah Gabriel.

            Gabriel berhenti berjalan saat dirasakan punggunya menerima lemparan sebuah benda. Dia berbalik dan menemukan Shilla disana. Gabriel melihat bahwa amplop yang tadi ia berikan pada wanita itu tergeletak di lantai. Dia kembali menatap Shilla.

            Gabriel melihat sekeliling dan berjalan mendekat ke arah wanita itu kemudian menariknya untuk ikut bersamanya ke sebuah ruangan dimana hanya ada dia dan wanita itu. Dia tidak akan mau jika seluruh pegawainya tahu apa yang sudah ia lakukan. Bisa bahaya jika mereka semua tahu.

            Gabriel membawa Shilla ke ruangannya pada akhirnya. Karena disanalah dia bisa berbicara aman dengan siapa saja tanpa merasa ada yang mendengar pembicarannya karena ruangannya yang kedap suara.

“Apa maksud kamu Shilla. Kurang ?”

PLAK

            Gabriel memejamkan matanya erat melihat Shilla yang sangat berani menampar dirinya. Dia tersenyum sinis kemudian tertawa pelan.

“Kalau kurang ngomong aja. Aku punya banyak uang kalau kamu mau tahu.”

            Dengan kurang ajarnya Gabriel mengeluarkan dompetnya dan mengambil beberapa lembar disana dan memberikannya pada Shilla. Shilla menerimanya membuat Gabriel tersenyum sinis.

“Sekarang kamu boleh ...”

            Gabriel menganga melihat Shilla melempar uangnya ke depan wajahnya membuat uang uang tersebut jatuh berhamburan. Dia menatap tajam wanita itu. Habis sudah kesabarannya. Dia mencengkram bahu wanita itu dengan eratnya membuat Shilla meringis pelan menahan rasa sakit disana.

“Apa maksud loe jalang ?”

“Gue bukan jalang. Dan apa maksud loe dengan memberikan gue uang.” Teriak Shilla.

“Bukan jalang ? Loe menerima begitu aja saat gue mencoba untuk melakukan itu sama loe. Dan gue udah memberikan banyak kesempatan sama loe untuk loe bisa kabur atau melepaskan diri dari gue, tapi apa ? Loe menerimanya dengan sukarela. Apa itu kalau loe bukan jalang ?”

            Shilla mencoba untuk menampar Gabriel kembali tetapi tangannya di tahan oleh pria itu.

“Loe mau main-main sama gue.” Desis Gabriel terlihat marah.

“Lepas.”

“Ah gue tahu, loe sok mencari keributan sama gue supaya kita bisa ngelakuin hubungan itu lagi ? Loe sengaja ? Kenapa gue gak terpikirkan sama sekali.”

            Shilla menghapus kasar butiran air matanya yang tanpa bisa ia cegah sudah turun melewati kedua pipinya. Shilla masih mencoba untuk melepaskan tangannya dengan menendang kaki pria itu. Dan saat Gabriel menjerit kesakitan dia segera kabur ke luar. Tapi hal itu tidak terjadi karena Gabriel menahan lenganya dan mendorongnya sampai ia jatuh ke atas sofa. Sofa tersebut adalah tempat ia melakukan hubungan itu dengan Gabriel. Dan ia tidak mau terulang kembali untuk kedua kalinya saat pria itu menganggap dirinya hanya wanita jalang.

“Lepasin gue. Tolooong.”

Gabriel tersenyum miring menatap Shilla yang sudah tidak berdaya di bawahnya. “Loe gak akan menemukan siapapun yang bisa menolong loe saat ini. Gak usah berpura-pura lagi Shill, karena gue tahu loe sangat suka saat kita melakukan ini.”

Shilla masih berontak. Air matanya turun bertambah deras saat wanita itu menahan agar tidak sesenggukan di hadapan pria yang sangat dicintainya tetapi selalu melukai hatinya itu.

Gabriel mencoba untuk mencium bibir Shilla saat wanita itu terus menerus berontak ingin dilepaskan. Gabriel tidak perduli dan terus memaksa.

“Lepas Gab. Aku mohon.”

            Gabriel menulikan pendengarannya mendengar permohonan wanita itu. Dia mencoba untuk membuat tanda di leher jenjang Shilla. Shilla mencoba berontak sekali lagi tetapi tidak berhasil karena Gabriel menekan lengannya erat sampai ia tidak bisa menggerakanya. Shilla memejamkan matanya erat dengan air mata yang selalu turun.

            Gabriel menahan kedua tangan Shillla dengan satu tangannya dan tangan lainnya ia gunakan untuk meraba keseluruhan tubuh wanita itu. Tangannya dengan cekatan membuka kancing kemeja Shilla hingga terbuka seluruhnya. Gabriel kemudian mulai menggerakkan tangannya disana.

“Lepas. Aku gak mau Gab. Lepasin, aku mohon. Siapapun tolong aku.” Teriak Shilla seraya berusaha mencegah Gabriel menyentuhnya.

            Tetapi Gabriel tidak perduli. Dia terus saja melakukan sesuatu yang ingin dilakukannya saat ini. Dan kejadian itu terulang kembali. Gabriel tidak menyadari jika apa yang sudah ia lakukan saat ini akan membuatnya menyesal seumur hidupnya.

**********

            Mario menatap berkas di hadapannya dengan rasa keingintahuan yang besar. Dia menatap Pak Adit yang saat ini berdiri di hadapannya.

“Itu Nak berkas-berkas yang mungkin kamu butuhkan untuk tahu mengenai keluarga Alyssa. Ayah masih berusaha mencarinya kembali.”

“Iya Yah. Terima kasih banyak. Maaf Rio merepotkan. Ayah bisa kembali.”

            Pak Adit kemudian berjalan ke luar ruangan Mario. Mario mulai membuka berkas-berkas itu kemudian mulai membacanya dengan seksama. Alyssa hari ini tidak berangkat kantor karena wajah wanita itu yang tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Akhirnya dengan perseteruan yang panjang, Mario berhasil membuat wanita itu hanya berbaring di ranjangnya.

“Randy Fathasar. Gue seperti pernah mendengar nama ini.” Mario mengamati kertas yang berisi mengenai kakak kandung Alyssa.

            Dia merasa pernah mendengar nama kakak kandung Alyssa. Tetapi dia sama sekali tidak bisa mengingatnya. Sepertinya sudah lama sekali.

            Dering ponsel memecah kesunyian. Mario melirik nama si pemanggil dan merasa malas mengangkatnya saat tahu jika papanya lah yang menelepon. Mario membiarkannya saja sampai deringnya berhenti dalam cukup waktu yang lama. Kemudian ada pesan masuk. Dengan malas Mario membukanya.

‘Jawab panggilan Papa Mario.’

            Hanya berisi seperti itu pesannya tapi membuat Mario merasakan ada yang tidak beres disini. Jika Pak Bara sudah meninggalkan pesan yang sangat sedikit seperti itu artinya Mario tidak bisa membantahnya.

            Beberapa saat kemudian ada panggilan masuk kembali dan Mario langsung mengangkatnya.

“Ada apa pah.”

“Rio sibuk. Maaf.”

            Mario tersentak saat Pak Bara mengingatkan bahwa semalam seharusnya dia ke rumah. Dan Mario memejamkan matanya erat saat ingat bahwa tadi malam dia malah berjalan-jalan dengan Alyssa ke mall. Mario mengutuk kembali kesalahannya. Dia benar-benar lupa. Untuk handphone’nya sengaja ia matikan sepulang kantor karena tidak ingin ada yang mengganggunya.

“Maaf Pa, untuk yang satu itu Rio benar-benar lupa. Semalam Rio ada lembur di kantor. Dan handphone.nya mati karena kehabisan baterai. Rio lupa charge.” Jawab Mario saat Pak Bara meminta alasan mengapa ia tidak datang tadi malam.

            Mario hanya mendengarkan saja omelan-omelan yang dilontarkan oleh Pak Bara diujung sana. Bahkan sempat-sempatnya Rio membaca berkas-berkas di hadapannya saat dia sedang berbicara dengan ayahnya.

“Iya. Rio akan kesana.”

            Mario langsung menutup panggilannya begitu saja walaupun sebenarnya dia tahu Pak Bara belum selesai berbicara dengannya. Tapi sejak kapan Mario perduli ? Dia tidak akan pernah perduli. Seperti Papanya yang tidak perduli padanya. Sejak kecil Mario selalu ditinggal. Bahkan saat di sekolahnya dulu membutuhkan orang tua untuk hadir di kelulusan, Papanya tidak datang dan lebih memilih pekerjaannya. Mengingat itu membuat Rio malas melakukan apapun.

            Mario kembali memegang handphonenya dan langsung mendial angka 1 yang akan menghubungkannya langsung dengan Alyssa. Lebih baik dia bercengkrama dengan wanita itu daripada memikirkan hal-hal yang sangat tidak ingin diingatnya.

“Hallo sayang. Lagi ngapain ?”

            Alyssa yang saat itu sedang menyusun pakaiannya di lemari pakaian saat menerima kiriman dari laundry langsung mengangkat panggilan begitu nama Mario muncul di handphone’nya.

“Hallo.”

“Hallo sayang. Lagi ngapain ?” Tanya Mario membuat Alyssa terkekeh.

“Lagi nyusun pakaian. Kamu lagi gak sibuk ? Sempet-sempetnya nelepon kesini.”

“Aku Cuma bisa sibuk sama kamu.”

            Alyssa hanya tertawa tanpa membalas. Mario terdiam cukup lama kemudian dia langsung mengatakan maksud dia memanggil wanita itu.

“Aku lupa ke rumah Papa tadi malem. Ini juga salah kamu karena aku udah ngingetin kamu dan kamu gak ngingetin aku balik.”

“Loh, yang ngajakkin aku ke mall siapa ? Kok jadi nyalahin orang ?”

“Ya salah kamu lah. Kalau aja kamu ngingetin aku, aku gak akan ngajak kamu jalan-jalan tapi ke rumah Papa.”

“Dasar bossy. Suka banget nyalahin orang.”

“Nanti malem kita kesana. Berdua sama aku.”

“Kamu aja deh Mario. Aku lagi males banget kemana-mana hari ini.”

“Setelah aku pulang ngantor aku akan ke apartment. Kamu siap-siap. Dan aku gak terima bantahan apapun.”

“Sifat kamu yang satu itu gak akan pernah hilang sepertinya.”

“Aku tersiksa banget gak ada kamu disini. Kamu mending istirahat sekarang, karena pulang dari rumah Papa sepertinya kita akan menghabiskan malam yang panjang karena dari kemarin aku belum nyentuh kamu barang sedikitpun. Kangennya aku udah nyampe puncak sayang. Kamu gak bakalan tega sama aku.”

“You’re crazy.”

“Because of you like usually.” Mario menjawab seraya tertawa membuat Alyssa mendesis pelan di ujung sana.

“Udah, aku matiin. Kamu semakin gila tahu.”

            Mario masih tertawa bahkan sampai panggilannya sudah terputus sedari tadi. Dia menyenderkan tubuhnya pada sofa. Setengah jam lagi dia akan ada pertemuan rapat besar seperti biasa. Dia mengambil foto kakak kandung Alyssa dan mengamatinya sekali lagi. Mario merasa dia pernah bertemu sebelumnya dengan kakak kandung Alyssa mengingat nama pria itu tidak asing di telinganya.

“Lebih baik gue fokus dulu buat rapat nanti.”

**********

            Alvin membenarkan jasnya seraya turun dari mobil. Dia menatap bangunan menjulang di hadapannya. Smartness Corp. Salah satu perusahaan yang sering bekerja sama dengan perusahaannya. Alvin melangkah masuk ke dalam dengan dikawal oleh beberapa bodyguard pria itu. Biasanya perwakilan dari Smartness yang akan datang ke perusahaannya. Tetapi kali ini Alvin dengan baik hatinya datang kesini karena permintaan pemilik perusahaan ini dengan alasan CEO perusahannya sudah berganti.

            Alvin mengangguk menatap sekeliling. Bangunannya tidak luas seperti perusahannya tetapi menjulang tinggi. Ada 20 lantai di Smartness membuat Alvin berdecak karena arsitekturnya yang bisa memanjakan mata saat menatapnya.

“Mari Pak saya antar sampai ruangan Ibu.”

            Alvin mengernyit kemudian mengangguk. Ibu ? Artinya CEO perusahaan ini adalah seorang wanita ? Wah, Alvin hampir tidak bisa mempercayai Smartness melihat pimpinannya adalah seorang wanita. Di pikirannya, seorang wanita itu hanya bisa berbelanja dan menghabiskan banyak uang. Siapa sangka, pimpinan baru di Smartness adalah seorang wanita.

“Silahkan masuk Pak, Ibu sudah menunggu di dalam.”

            Alvin menatap seorang wanita yang diyakini Alvin adalah pegawai receptionist yang tadi sempat ia temui. “Terima kasih.”

            Dengan langkah pasti dia memasuki ruangan yang ia yakini adalah ruangan Direktur di Smartness.

“Selamat datang di perusahaan ka .... Alvin.”

            Alvin terkejut saat mengetahui bahwa Direktur Smartness adalah seorang wanita yang sangat dikenalnya. Kemudian Alvin memberikan senyuman manisnya kepada wanita itu seraya berjalan mendekat.

“Wah, dunia begitu sempit sampai kita dipertemukan dalam suasana seperti ini Ibu Zahra Ratu Annisa yang terhormat.”

            Alvin bisa melihat wanita di hadapannya yang mengepalkan kedua tangannya. Alvin tidak bodoh untuk mengetahui bahwa Zahra sangat tidak menyukainya.

“Ngapain loe kesini.”

            Alvin terkekeh kemudian berjalan ke arah sofa yang ada di ruangan Zahra seraya menatap ke sekeliling. Terakhir dia kesini ruangannya sangat maskulin karena direktur sebelumnya seorang laki-laki, tetapi sekarang ruangannya sangat girly walaupun masih terlihat sopan dan nyaman untuk ditempati.

“Selamat menjadi Direktur yang baru di perusahaan ini Ibu Zahra. Saya sangat tidak menyangka bahwa wanita manja seperti Anda bisa menjadi seorang Direktur.”

“Loe.”

“Yaps benar. Gue adalah Direktur William Sanders Corp.”

            Alvin menatap Zahra yang hanya berdiri diam di tempatnya. Alvin dengan berani mendekat kesana dan berdiri tepat disamping wanita itu. Pria itu menyilangkan kedua tangannya di depan dada seraya menatap wajah wanita itu.

“Sepertinya gue merasa menyesal karena pernah menyia-nyiakan loe dulu. Loe semakin cantik dan seksi.” Bisik Alvin di telinga wanita itu membuat Zahra refleks menimpuk kepala pria itu menggunakan penggaris yang ada diatas mejanya.

“Loe jangan kurang ajar ya.” Desis Zahra seraya mentap pria di hadapannya yang masih mengelus-ngelus kepalanya.
“Loe gak lupa kan. Sebelum loe ngejar-ngejar Mario, loe lebih dulu ngejar-ngejar gue. Karena gue waktu itu udah punya pasangan aja loe akhirnya beralih ke Mario. Gue tahu loe masih cinta sama gue bahkan hingga saat ini.”

In your dream.”

            Zahra dengan cepat menekan beberapa digit nomor.

“Halo pak. Tolongan ke ruangan saya sekarang juga dan seret ...”

Alvin dengan cepat menekan tombol merah disana untuk mengakhiri obrolan Zahra yang mungkin saja dengan penjaga disini. Pria itu kemudian menarik pinggang wanita itu hingga Zahra benar-benar menempel padanya sekarang.

“Wah. Gue ngerasa sangat gak dihargai disini. Gue Direktur William Sanders datang kesini jauh-jauh dan loe ngusir gue seenaknya. Gue bisa aja laporin loe ke Pak Andre tentang sikap gak sopan loe sama gue barusan. Dan loe lihat aja apa yang akan terjadi dengan perusahaan loe setelahnya.”

            Zahra menatap tajam pria di hadapanya. Dia sangat menyesal mengapa Ayahnya bisa bekerja sama dengan perusahaan Alvin. Jika saja ayahnya tidak memohon padanya untuk menggantikannya menjadi pemimpin perusahaan sudah pasti dia tidak akan mau berdiri disini sekarang.

“Ayo kita bicarakan masalah pekerjaan, dan jangan sangkut pautkan masalah pribadi kita satu sama lain saat sedang berada di perusahaan.”

“Deal.”

**********

            Mario memegang pinggang Alyssa kemudian menuntun wanita itu untuk masuk ke dalam rumahnya. Banyak bodyguard disana yang menyapa mereka dengan sopan. Mario tidak memperdulikan tetapi berbeda dengan Alyssa. Dia tidak bisa mengabaikan mereka semua. Apalagi ini di rumah pria di sampingnya.

“Tenang aja Alyssa. Papa gak bakal ngapa-ngapain selama aku ada di samping kamu.”

            Mario merasakan bahwa tubuh wanita itu begitu tegang. Terbukti pada telapak tangan wanita itu yang berkeringan entah karena apa. Mario berhenti berjalan kemudian memegang kedua bahu Alyssa agar menghadap kearahnya.

“Keep Calm, okey ? Gak akan terjadi apa-apa. Percayalah. Aku gak akan pernah mengijinkan siapapun untuk menyakiti kamu.”

            Alyssa mengangguk. Mario tersenyum kemudian menggenggam tangan wanita itu dan membawa Alyssa masuk ke dalam. Dia melihat Papanya sudah menunggu. Pria paruh baya itu sedang duduk diatas sofa dan saat melihat putranya, dia segera menyuruh Mario untuk duduk di sofa lain di hadapannya.

            Mario merasakan jika Papanya menatap Alyssa dengan tatapan menilai. Wanita di sampingnya pasti mengetahuinya. Wajahnya sedari tadi hanya ia tundukan dan tidak berani melihat sekitar. Melihat Mario saja dia tidak berani.

“Papa akan membuatnya ketakutan jika Papa selalu memasang wajah seperti itu.” Desis Mario merasa marah dengan sikap Papanya.

“Papa tidak meminta kamu kesini dengan membawa perempuan jalang itu Mario. Papa menyuruhmu datang sendiri.”

“Alyssa bukan wanita jalang.” Teriak Mario marah. Dia menatap wajah Papanya dengan tajam. “Jika tidak ada yang dibicarakan, Mario pergi.”

“Kamu tahu apa akibatnya Mario jika kamu melangkahkan kaki kamu keluar dari rumah ini sebelum Papa menyetujuinya.”

            Ucapan ayahnya membuatnya duduk kembali. Dia terus menggenggam tangan Alyssa yang bertambah dingin sekarang. Dia terus mengelus tangan wanita itu dengan lembut berharap bisa mengurangi kegugupannya.

“Wanita di samping Mario adalah Alyssa. Dia calon pendamping Mario. Terlepas Papa suka atau tidak Mario akan tetap bersama Alyssa.”

            Mario lebih memilih untuk menjelaskan Alyssa dan perasaannya. Dia tidak perduli dengan tanggapan papanya. Dia tidak perduli dengan restu Papanya. Karena baginya, sangat tidak penting restu Papanya mengingat apa yang sudah pria paruh baya itu lakukan kepada dirinya selama ini.

“Setelah sebelumnya kamu hanya diam saat Papa menjodohkan kamu dengan rekan bisnis Papa, sekarang kamu memperkenalkan wanita ini ? Kamu jangan bercanda Mario.”

            Alyssa tersentak. Perjodohan ? Dia langsung menatap Mario tajam. Selama ini Mario tidak pernah mengatakan kepada dirinya jika pria itu terlibat perjodohan. “Aku janji sayang, setelah ini akan aku jelaskan.” Bisik Mario berharap Alyssa mengerti mengapa sampai saat ini dia tidak menceritakan mengenai perjodohan sialan itu.

“Mario gak suka sama dia. Mario diam bukan berarti Mario menerima. Papa sangat tahu itu.”

“Wanita yang ada di samping kamu itu hanya seorang pekerja club malam. Dan asal-usul keluarganya juga pendidikannya tidak jelas Mario. Bagaimana bisa kamu bersama dengan wanita seperti itu. Papa sangat tidak setuju.”

            Mario bangkit berdiri kemudian mengajak Alyssa ikut berdiri juga. Dia menatap wajah Papanya dengan malas.

“Gak usah papa kasih tau, Mario udah tahu semuanya tentang Alyssa. Kalau hanya itu yang mau papa katakan, sebaiknya Mario benar-benar pergi dari sini.”

“Mama kamu mau bertukar Mario. Dia ingin bertemu kamu. Dan sebagai gantinya kakak kamu yang akan tinggal disini bersama Papa.”

            Mario mengepalkan kedua tangannya erat-erat.

“Mario bukan barang. Silahkan jika Papa memang menginginkan kak Marcel untuk tinggal disini bersama Papa. Bawa saja Mama sekalian tinggal disini bersama kalian. Mario tidak perduli.”

            Mario berjalan ke luar rumah seraya mengepalkan tangan kirinya. Sedangkan tangan kananya menggenggam erat tangan Alyssa. Perkataan Pak Bara selanjutnya membuatnya berhenti berjalan tiba-tiba.

“Jika kamu berani keluar rumah saat ini juga. Papa tidak akan menganggap kamu sebagai anak lagi Mario.”

            Mario tersenyum sinis kemudian membalikan tubuhnya menghadap papanya. Sedari tadi Alyssa hanya mendengarkan pembicaraan Ayah dan anak itu dan tidak ingin ikut campur di dalamnya. Bisa wanita itu rasakan, Mario sangat membenci ayahnya entah untuk alasan apa.

“Itu yang saya inginkan. Mulai saat ini, saya akan melepas nama Raditya di belakang nama saya, Tuan Bara Raditya yang terhormat.”

**********

 PART 14 DONE :) 
Semoga kalian suka ^_^
Jangan lupa tinggalin jejak guys, biar aku tahu kalian pernah berkunjung kesini :) 
VOTE and COMMENT
I'm waiting you to read this story and your comment ^_^
Semakin banyak yang ninggalin jejak, maka akan semakin semangat gue nulisnya :D