Selasa, 01 November 2016

Cerpen - Keinginan Kecil Seorang Nadine




KEINGINAN KECIL SEORANG NADINE

Setiap orang pasti memiliki sebuah keinginan.

Termasuk aku.

Sedari kecil, aku hanya menginginkan satu hal yang tidak pernah bisa aku dapatkan hingga saat ini.

Kasih sayang Ayah dan Ibu, seperti yang telah mereka berikan pada adikku.

Aku hanya menginginkan itu. Apakah salah ?

**********

            Seorang perempuan turun dari tangga dengan tergesa. Tangan kirinya sibuk membawa tumpukan buku sedangkan tangan kanannya sibuk membenarkan letak tas punggungnya. Sekali lagi dia melihat jam di tangan kanannya yang saat ini sudah menunjukkan pukul 06.45.

“Nabila, sarapan dulu Nak.” Teriak sang Ibu dari ruang makan. Nabila dengan tergesa menghampiri sang Ibu sebelum Ibunya mengomel lebih panjang lagi.

“Nabila udah telat Bu. Nanti Nabil makan di sekolah aja.” Jawab Nabil pada ibunya.

Kemudian Nabil mengarahkan tatapannya kepada sang kakak yang masih makan dengan lahapnya. “Kak Nadine, ayok berangkat. Ini tuh udah jam tujuh kurang seperempat tahu.”

Perempuan yang bernama Nadine yang baru saja di sapa Nabila mengangkat wajahnya kemudian menatap Nabila dengan lembut. “Iya dek, sebentar lagi makan kakak selesai. Tanggung.”

“Kamu itu buat apa sekolah mahal-mahal kalau bukan prestasi yang kamu dapat disana. Setiap hari yang kamu lakukan cuma membuat Ayah sama Ibu malu. Umur kamu itu udah 15 tahun. Seharusnya saat ini kamu sudah duduk di kelas 3, tapi sekarang malah satu kelas dengan adik kamu di kelas 1. Apa gak malu ?”

“Kemampuan Nadine memang segitu Yah. Nadine memang gak pernah membahagiakan Ayah sama Ibu. Nadine minta maaf untuk itu.”

“Maaf maaf maaf. Kamu hanya bisa mengucap maaf. Sampai saat ini aja kamu belum bisa menghafalkan satu buku dongeng yang Ayah kasih sama kamu. Ayah udah ngasih kamu keringanan dengan meringkas buku itu, tapi yang kamu lakukan malah menyia-nyiakan keringanan yang Ayah kasih sama kamu.” Ucap Ibu menambahkan.

Nadine hanya menundukkan wajahnya mendengarkan kata demi kata menyakitkan yang keluar dari mulut Ayah dan Ibunya. Dia sudah terbiasa mendapatkan perlakuan semacam ini. Dia memang memalukan. Bukan hanya pernah tinggal kelas sebanyak 2 kali saja yang membuat mereka malu, tetapi kemampuan membaca dan menulis yang dia punya sama sekali tidak ada.

“Sudah sana berangkat. Ibu gak mau Nabila mengikuti jejak kakaknya.”

Nabila tersenyum senang. Kemudian dia menghampiri ibunya lalu mengecup tangannya. “Nabila berangkat dulu ya Bu.”

Kemudian Nabila beralih ke Ayahnya. “Nabila berangkat dulu Yah.”

“Harapan Ayah hanya kamu sayang. Jadilah anak yang membanggakan Ayah dan Ibu. Jangan seperti kakakmu. Kamu harus bisa meraih prestasi sebanyak-banyaknya.”

“Siap Ayah. Kalau begitu Nabila berangkat dulu. Assalamualaikum”

“Waalaikumsalam. Hati-hati Nak.”

Nadine bangkit dari duduknya. Dia memakai tas punggungnya kemudian menatap kedua orang tuanya yang seakan tidak perduli dengan dirinya. Dengan perasaan kecewa yang menyelimuti hati Nadine, dia menyusul adiknya yang pasti sudah duduk manis di dalam mobil.

Nadine masih mengingat dengan jelas percakapan kedua orang tuanya dengan dirinya beberapa tahun yang lalu.

“Mulai saat ini, Ayah sama Ibu akan mengurangi perhatian kami terhadap kamu sebelum kamu bisa menghafal satu buku yang Ayah kasih sama kamu atau kamu bisa menulis ulang buku itu dan kamu berikan pada Ayah. Sebelum kamu melakukan itu, Ayah sama Ibu akan selalu menganggap bahwa kamu memang tidak membutuhkan perhatian kami.”

Nadine mengusap wajahnya kasar. Mungkin memang ini takdir yang harus aku jalani. Usaha dan Doa akan selalu mengiringi setiap langkahku untuk mendapatkan hasil terbaik yang memang hanya itu yang bisa aku lakukan. Karena aku tidak sama seperti anak-anak lain pada umumnya. Aku berbeda.

**********

Nadine sedang membaca sebuah buku dengan cover biru bertuliskan Kisah Sura dan Baya. Buku yang membahas mengenai sejarah kota Surabaya. Nadine dengan serius membaca buku tersebut. Berusaha untuk bisa memahami isi buku tersebut. Padahal buku itu adalah salah satu buku anak-anak. Dimana didalamnya terdapat gambar-gambar menarik dan sedikit tulisannya.

Buku itu merupakan buku pemberian ibunya saat dirinya berumur 5 tahun. Saat itu, ibunya berharap dirinya bisa membaca di usia ke 5 tahun. Tetapi sampai saat ini pun, buku tersebut tidak pernah selesai ia baca. Karena setiap kali Nadine membaca dalam jangka waktu lama, dia akan merasakan pusing, mual kemudian muntah. Jadi Nadine pasti berhenti sebelum dirinya benar-benar mengeluarkan isi perutnya.

Sebenarnya Nadine sudah tahu penyakit yang dideritanya. Tepatnya dua tahun yang lalu. Saat dia ditinggal sendirian oleh kedua orang tuanya juga Nabila yang berlibur ke Manado dimana kakek dan neneknya tinggal disana. Tetapi karena Nadine tidak bisa menyelesaikan buku bacaannya sebagai syarat, jadi Nadine harus tetap tinggal.

Terpaksa Nadine harus tinggal bersama di rumah Tantenya – Tante Rani. Saat itu, Tante Nadine sudah tahu mengenai alasan mengapa Nadine harus tetap tinggal di rumah. Dia terus menerus mencari tahu mengenai kebenarannya. Saat Nadine masih kecil sebenarnya Tante Rani sudah mempunyai firasat mengenai perbedaan Nadine dengan anak-anak yang lain. Tetapi dia diam saja. Dia menunggu kedua orang tua Nadine yang mengetahuinya lebih dulu. Tetapi sampai saat itupun mereka tidak mengetahuinya.

“Nadine, sini duduk sama Tante sayang.” 

Nadine langsung duduk di sebelah Tantenya di ruang santai. Tante Rani mengusap kepala Nadine dengan sayang kemudian mulai bertanya pelan-pelan.

“Nadine belum bisa membaca dengan baik ya sayang.”

Nadine menatap kearah Tante Rani kemudian menyenderkan kepalanya di bahu Tante yang sangat disayanginnya itu. “Iya Tante. Entah kenapa Nadine gak pernah bisa baca dengan benar dari Nadine kecil.”

“Nadine lancar nulis ?”

“Enggak lancar banget Tante. Setiap Nadine nyoba dan maksain buat baca dan nulis, pasti kepala Nadine terasa pusing, terus Nadine mual. Kalau Nadine gak berhenti pasti Nadine muntah. Maka dari itu Nadine gak pernah bisa nyelesaiin baca buku pemberian Ayah dan Ibu.”

“Nadine mau ikut Tante ke Dokter sayang ? Biar kita tahu penyakitnya Nadine itu apa. Nadine mau ?”

Nadine mengangguk anggukkan kepalanya. Dan dari sanalah dia mengetahui semuanya. Penyakit yang menimpa dirinya membuat Nadine menjadi tidak memiliki semangat hidup. Tetapi karena Nadine selalu ingat Tuhan, sampai saat ini dia masih bersemangat untuk menikmati hidupnya.

**********

Nadine melangkah ke kantin sekolahnya. Dia mengedarkan pandangannya ke penjuru arah dan matanya langsung bertubrukan dengan Nabila bersama teman-temannya yang sedang bercanda bersama di ujung koridor sekolahnya. Nadine tersenyum miris. Perbedaan dirinya dengan Nabila sangat terasa jika berada di sekolah.

Nabila yang pandai, Nabila yang cantik, Nabila yang mempunyai banyak teman dan Nabila yang selalu jadi murid kesayangan gurunya. Sedangkan dirinya, sama sekali tidak mempunyai itu semua. Setiap hari Nadine harus pergi sendiri kemana-mana. Dia harus berusaha keras agar menjadi pandai, dan dia harus berusaha keras pula untuk mendapatkan seorang teman.

Tapi sayangnya sampai sekarang Nadine belum menemukan satu teman pun yang benar-benar ingin menjadi temannya. Karena mereka menganggap Nadine bodoh. Sudah dua kali tinggal kelas dan tidak bisa membaca dan menulis dengan cepat pula. Mereka hanya tidak mengerti apa yang dirasakan Nadine. Maka dari itu, sampai saat ini Nadine memilih sendiri.

“Nadine.”

Nadine mengalihkan wajahnya ke sumber suara, dan dia menemukan Viona dengan raut wajah cemas. Nadine bergegas menghampiri Viona. Firasatnya mengatakan terjadi sesuatu yang buruk pada adiknya.

“Ada apa Vion ?”

“Adikmu berulah lagi Nad. Sebaiknya kamu segera menyusul kesana.”

Nadine hanya mengangguk kemudian berlari kearah yang sudah ditunjukkan oleh teman satu kelasnya itu. Nadine membulatkan matanya melihat adiknya yang saat ini sudah tampil berantakan, begitupun dengan Gita, siswi kelas X IA 4 yang merupakan kelas tetangga mereka.

“Nabila berhenti.” Teriak Nadine yang langsung menjadi pusat perhatian seluruh siswa yang berada disana.

“Wah, pengaduan ini namanya. Kakak loe yang bodoh itu ceritanya mau jadi pahlawan kesiangan buat adik tercinta ?” Ejek Gita dengan tangan bersidekap di depan dadanya.

“Sebenarnya ada masalah apa hingga kalian berantem seperti ini ?” Tanya Nadine baik-baik.

“Adik kamu tuh, percaya dirinya sangat luar biasa. Kalian itu sama. Sama-sama bodoh. Jadi buat apa memaksakan diri untuk menjadi yang pertama di sekolah ini. Lagian olimpiade itu kan cuma buat anak-anak yang pintar seperti aku.”

“Aku juga pintar, jangan menyamakan aku dengan kak Nadine. Kita berbeda.” Jawab Nabila dengan tatapan marahnya ke arah Gita.

Nadine merasakan sakit teramat sangat di dadanya. Mendengar kata ‘kita berbeda’ dari mulut adiknya sendiri membuatnya merasa sangat sakit. Jika orang lain yang mengatakannya dia tidak akan memperdulikannya, tetapi jika adiknya sendiri dia merasa menjadi seorang yang tidak pantas berkumpul bersama mereka di sekolah ini.

“Aku memang berbeda dengan Nabila. Dia sangat pandai. Jadi kamu jangan merendahkan adikku lagi. Jika memang kamu mau lihat kepintaran Nabila, biarkan dia ikut olimpiade itu. Kalian bisa bersaing secara sehat disana.”

“Pastilah aku yang menang. Nabila itu satu darah sama kamu, jadi dia tidak mungkin mengalahkan aku karena dia sama bodohnya seperti kamu.”

“Jangan menghina adikku lagi. Kamu boleh menghina aku, tapi jangan pernah menghina adikku.”

“Kita liat saja, aku pasti yang akan menjadi juaranya di olimpiade nanti. Dan saat itu, aku akan dengan puas mengatakan bahwa Nabila itu sama seperti kakaknya yang bodoh.”

Setelah mengatakan itu, Gita langsung pergi diikuti dengan teman-temannya yang lain. Dengan cepat, lautan manusia yang mengelilingi mereka sedari tadi langsung ikut bubar dengan tatapan yang berbeda-beda yang mengarah ke arah Nadine dan Nabila.

“Ini semua gara-gara kakak. Kalau aja kakak gak tinggal kelas dan bisa membaca dan menulis dengan baik, pasti sampai saat ini Nabila gak punya musuh. Pasti Nabila punya teman yang banyak.”

“Maafin kakak Bil.”

“Nabila benci sama kak Nadine.”

Nabila langsung berlari meninggalkan Nadine seorang diri disana. Nadine merasa matanya berkaca-kaca. Dia tidak mau menangis disana, tidak ada seorangpun yang boleh melihatnya menangis saat ini. Dia tidak mau terlihat lemah. Nadine menyunggingkan senyum manisnya kemudian melangkah pergi dari tempat itu. Dia kembali ke kelas karena tiba-tiba mood makan dia sudah hilang entah kemana.

**********

“Assalamualaikum”

“Waalaiikumsalam sayang.”

Nabila langsung memeluk ibunya begitu melihat ibunya di ruang makan sedang menyiapkan makan siang untuk mereka.

“Putri ibu yang cantik kenapa ? Kok tiba-tiba meluk ibu seperti ini ?”

“Tadi Nabila habis dipermalukan sama teman Nabila bu. Dia mengatakan Nabila bodoh seperti kak Nadine. Dia tidak memperbolehkan Nabila ikut olimpiade karena menurutnya Nabila pasti akan gagal karena Nabila sama bodohnya dengan kak Nadine.”

“Kalian itu berbeda. Hanya kak Nadine saja yang bodoh, Nabila tidak. Jangan pernah mendengarkan apa yang teman-temanmu katakan ya Nak. Yang terpenting saat ini kamu harus bisa membuat Ayah sama Ibu bangga dan kamu harus bisa membuktikan pada teman-temanmu kalau kamu anak yang pandai.”

“Pasti Ibu. Nabila tidak mau teman-teman menyamakan Nabila dengan kak Nadine terus. Nabila harus bisa merubah pandangan mereka pada Nabila.”

“Yasudah, sekarang ganti baju lalu kamu langsung makan ya Nak. Ibu sudah membuat makanan kesukaan Nabila.”

Nabila hanya mengangguk kemudian berlari ke kamarnya dilantai atas. Nadine hanya berdiam diri di tempat yang tidak jauh dari ibunya. Ingin sekali dia memeluk ibunya seperti yang telah Nabila lakukan sebelumnya. Tapi itu hanya angannya saja. Nyatanya sampai saat ini dia tidak bisa bermanja-manja dengan ibunya seperti adiknya itu.

“Assalamualaikum Bu.”

“Waalaikumsalam.”

Nadine tersenyum miris, karena ibu tidak menyambutnya seperti yang selalu dia harapkan. “Nadine ke kamar dulu ya Bu.”

Nadine berlalu ke kamarnya yang berada di lantai atas rumahnya dengan tidak bersemangat. Nadine hanya menginginkan kasih sayang Ibu dan Ayahnya. Nadine gak tahu apa yang terjadi jika dia menceritakan penyakitnya ke orang tuanya. Padahal Tante Rani selalu menyarankan dirinya agar menceritakan penyakitnya kepada orang tuanya tetapi sampai saat ini Nadine tidak berani.

Bukan karena Nadine tidak mau, dia hanya takut jika dia menceritakan penyakitnya kepada kedua orang tuanya, mereka bertambah benci padanya. Mungkin mereka malah lebih malu lagi jika tahu mereka mempunyai anak yang penyakitan. Atau yang lebih parah Nadine berpikir dia akan dikirim orang tuanya ke rumah kakek neneknya di Manado dan orang tuanya tidak menganggap dirinya sebagai anak lagi. Nadine tidak mau jika sampai terjadi seperti itu.

Perempuan cantik ini merebahkan tubuhnya diatas kasur. Matanya memejam rapat dan berusaha mengusir semua masalah yang terjadi dalam hidupnya. Dia hanya menginginkan seseorang yang benar-benar mengerti dirinya. Tetapi hanya Tante Rani-lah yang mengerti dirinya. Dan satu-satunya orang yang mengerti dirinya malah jauh darinya. Karena saat ini Tante Rani sudah mengikuti suaminya tinggal di rumah suaminya yang berada di Semarang.

Tok ... tok ... tok

“Masuk.”

“Dicari Ayah sama Ibu. Disuruh makan.”

Nadine hanya menggangguk menjawab ucapan adiknya yang menatapnya dengan raut wajah datar. Nabila hanya melihat sekilas anggukan kakaknya kemudian menutup pintunya. Nadine bangkit dan mengusap wajahnya kasar. Dia bergegas berganti baju kemudian menyusul adiknya ke ruang makan.

“Gimana sekolah kamu Bil ?”

“Tadi Nabila dapet nilai sempurna di pelajaran matematika Yah. Ulangan kemarin itu. Terus tadi Bu Guru ngasih Nabil buku, katanya sebagai hadiah.”

“Hebat putri Ibu. Ibu bangga sama kamu Nak.”

“Terus pertahankan prestasi kamu yang satu itu ya sayang. Buat Ayah sama Ibu bangga selalu sama kamu.”

“Siap Ayah.”

Nadine hanya diam mendengarkan percakapan kedua orang tuanya dengan adiknya yang memang setiap hari selalu mereka lakukan. Pujian demi pujian selalu dilantunkan orang tuanya untuk Nabila. Nadine tidak pernah mendapatkan itu. Padahal dia ingin sekali merasakan pujian dari kedua orang tuanya walaupun itu hanya berarti sekecil apapun untuk Ayah dan Ibunya.

“Ayah sama Ibu lusa mau ke Semarang. Ayah ada bisnis disana. Nanti Ayah panggilkan Tante Rani ke rumah buat jaga kalian berdua. Jadi kalian harus baik-baik disini.”

Nadine dan Nabila hanya mengangguk saja membalas ucapan Ayahnya. Mereka sudah biasa ditinggal oleh kedua orang tuanya untuk urusan bisnis. Jadi ini sudah biasa bagi mereka. Nadine merasakan perasaan yang berbeda entah mengapa. Biasanya saat orang tuanya akan pergi jauh, dirinya tidak pernah merasakan perasaan ini, seperti perasaan tidak rela orang tuanya pergi. Entah mengapa.

‘Mungkin ini hanya firasatku saja’

**********

‘Nabila, mau kemana kamu.”

Nabila hanya melirik Tantenya sekilas kemudian melanjutkan langkahnya keluar dari rumah. Sudah 4 hari orang tuanya meninggalkan dirinya dan Tante Rani-lah yang selalu menjaga dirinya dan sang kakak di rumah. Tapi Tante Rani selalu lebih memperhatikan kakaknya. Hal itu membuat Nabila malas berada di rumah.

“Nabila, Tante sedang bicara denganmu.”

“Buat apa tante urusin Nabila. Urusin aja keponakan kesayangan Tante yang satu lagi. Tante memang lebih sayang sama dia daripada Nabila.”

Nabila melanjutkan langkahnya keluar dari rumah. Nadine yang baru saja turun dari tangga bingung menatap tantenya yang tampak marah di ruang tamu.

“Ada apa tante ?”

“Adik kamu tuh Nad. Benar-benar sudah keterlaluan. Dia baru saja pergi padahal sudah malam. Saat Tante tanya dia malah bersikap kurang ajar sama Tante.”

“Yasudah biar Nadine susul Nabila ya Tante. Nabila mungkin belum jauh dari sini.”

“Hati-hati ya sayang.”

Nadine mengangguk kemudian berlari keluar rumah. Adiknya pasti masih berada di sekitar perumahan ini. Karena disana tidak ada kendaraan umum yang lewat. Jika ingin menggunakan kendaraan umum, maka harus keluar perumahan dulu baru ketemu.

Nadine melihat Nabila yang sudah berada di pinggir jalan. Adiknya itu bersiap untuk memberhentikan taksi yang akan lewat tetapi Nadine lebih dulu mencekal pergelangan tangan adiknya.

“Sudah malam Bil. Kamu mau kemana ?”

“Ini bukan urusan kakak. Minggir.”

“Kamu seharusnya bilang dulu sama Tante Rani. Dia wali kita saat ini. Kalau ada apa-apa sama kamu, pasti Tante Rani yang akan dimarahi Ayah sama Ibu nanti. Kamu gak berpikir sampai kesana ?”

“Perduli apa sama Tante Rani. Dia aja gak perduli sama Nabila.”

“Tante Rani itu sayang sama kamu. Kakak juga sayang sama kamu Bil. Kami cuma takut kamu kenapa-napa. Kenapa kamu gak pernah melihat itu ?”

“Cuma Ayah sama Ibu yang sayang sama Nabil. Gak ada lagi. Nabil tau kok. Kakak juga benci sama Nabil karena aku merebut seluruh perhatian Ayah sama Ibu.”

“Enggak. Kakak gak pernah benci sama kamu. Kakak sayang banget sama kamu.”

“Sudah lepas. Nabila mau pergi kak.”

“Enggak. Kamu gak akan pernah kakak bolehin pergi sebelum kamu ngomong sama Tante Rani kamu mau kemana.”

“Lepas Kak.” Teriak Nabila karena merasa malas berdebat dengan sang kakak.

Tetapi Nadine tetap tidak mau melepaskan. Karena Nabila sangat kesal saat itu, dia refleks mendorong tubuh Nadine hingga tubuh kakaknya terdorong ke jalanan. Saat itu juga suara klakson kendaraan bersahut-sahutan membuat Nabila berteriak dan menutup kedua matanya juga telingannya.

Nabila membuka kedua matanya dengan perlahan. Di depan matanya sudah banyak orang yang yang seperti sedang mengerubungi sesuatu. Tubuh Nabila mulai bergetar. Matanya berkaca-kaca dan dia melangkah dengan cepat mendekati kerumunan itu. Tumpahlah air mata yang sedari tadi ditahannya. Di hadapannya, sang kakak terbujur kaku. Tubuhnya penuh luka dan banyak darah yang keluar dari kepalanya. Nabila berteriak meminta tolong sembari menangis. Dia memeluk kakaknya erat dan mengucap maaf secara terus menerus.

**********

Suara tangisan bersahut-sahutan di depan ruangan yang bertuliskan Unit Gawat Darurat (UGD). Nabila menangis paling keras disana. Kedua orang tuanya sudah tiba di Jakarta saat Tante Rani menghubungi mereka untuk mengatakan pada mereka bahwa Nadine kecelakaan. Ayah dan Ibu Nabila dan Nadine tidak kuasa membendung air matanya. Ibunya menangis sangat keras di pelukan sang Ayah.

Tante Rani juga tidak kuasa membendung air matanya. Dia merasa menyesal membiarkan Nadine menyusul Nabila sendirian. Jika kejadiannya akan seperti ini, dia tidak akan membiarkan Nadine menyusul Nabila.

Sementara Nabila menangis paling keras disana. Dia yang menyebabkan kakaknya berada di UGD saat ini. Dia yang menyebabkan kakaknya kecelakaan. Dia yang harus disalahkan disini. Jika saja saat itu dia tidak mendorong Nadine, jika saja .. Ah Nabila merasa semua ini salahnya. Semua salahnya.

Seorang dokter keluar dari ruangan membuat mereka semua mendekat kesana. Dan ucapan dokter membuat mereka bertambah menangis. Tidak ada yang bisa mereka lakukan. Mereka hanya bisa berdoa kepada Allah SWT agar diberi kesembuhan untuk Nadine yang masih terbaring lemah di dalam ruangan.

“Kondisinya sangat kritis, putri ibu dan bapak sudah kehilangan banyak darah dikepalanya. Karena kepalanya terbentur cukup keras. Ibu dan Bapak berdoa saja. Semoga ada keajaiban yang diberikan Tuhan kepada putri Ibu dan Bapak”

 Tante Rani mendekati kedua Ayah dan Ibu Nabila dan Nadine.

“Mba, Mas. Ada yang ingin saya bicarakan mengenai Nadine.”

“Kamu mau bicara apa Ran ?”

“Nadine menderita penyakit Disleksia sedari dia berumur 7 tahun.”

“Apa ?” Ayah Nabila dan Nadine tidak percaya dengan perkataan Tante Rani. Sedangkan sang Ibu masih menangis dengan keras di pelukan Ayah.

“Iya Mas. Anak kamu sudah menderita Disleksia dari umur 7 tahun. Penyakit yang terjadi pada Nadine adalah penyakit yang mengganggu perkembangan baca tulis Nadine. Saya baru tahu saat Nadine berumur 13 tahun, tepatnya dua tahun yang lalu mas. Sudah sangat terlambat untuk diberi penanganan. Karena Disleksia yang diderita Nadine sudah sangat parah saat itu.” Tante Rani menghela nafasnya dengan pelan kemudian melanjutkan.

“Saya sudah membujuk Nadine untuk menceritakan kepada Mas dan Mba. Tapi Nadine tidak pernah mau. Dia selalu mengatakan bahwa dia tidak mau membuat Ayah dan Ibunya menjadi bertambah benci kepadanya. Maka dari itu Nadine menyimpannya sendiri sampai saat ini.”

“Kenapa kamu gak pernah cerita sama saya Ran.”

“Nadine melarang saya dengan alasan yang sama Mas.”

“Ya Allah anakku.” Ucap Ibu Nabila dan Nadine seraya bertambah menangis dengan keras. Dia merasa sangat merasa bersalah pada putri sulungnya.

Selama ini dia mengira bahwa anaknya memang malas untuk belajar. Maka dari itu sampai saat ini dia bisa membaca dan menulis dengan baik. Dia juga merasa sangat bodoh sampai tidak tahu jika anaknya mempunyai penyakit seperti itu. Dia merasa sudah sangat gagal menjadi seorang Ibu.

Begitupun dengan sang Ayah. Dia yang sangat merasa berdosa kepada anak perempuannya yang satu itu. Selama ini dia tidak pernah memberikan kasih sayangnya kepada Nadine. Dia selalu menumpahkan kasih sayang seluruhnya kepada Nabila dan dia merasa sangat menyesal sekarang.

Nabila juga merasa sangat merasa bersalah. Tidak menyangka jika sang kakak ternyata menyimpan penyakitnya sendirian. Pasti selama ini dia sangat tersiksa. Nabila justru selalu membuat sang kakak menjadi sedih. Padahal selama Nadine selalu menjadi kakak yang terbaik untuknya. Dia selalu membelanya juga selalu memberikan kasih sayangnya untuk dirinya. Dan apa yang dia lakukan ? Dia malah membuat sang kakak selalu bersedih.

Andai waktu bisa diulang dia tidak akan pernah menelantarkan anak pertama mereka itu. Tetapi waktu memang tidak bisa diputar kembali. Yang hanya bisa dilakukan oleh mereka adalah berdoa untuk kesembuhan Nadine. Jika Nadine sudah kembali ke pelukan mereka lagi. Mereka tidak akan pernah menyia-nyiakan Nadine kembali. Mereka akan memberikan kasih sayang mereka secara merata kepada Nabila dan Nadine. 

Tetapi harapan tinggallah harapan. Beberapa saat setelah itu. Dokter berlari kemudian masuk kembali ke ruang UGD. Dan berita yang tidak ingin mereka dengar terucap juga dari sang Dokter. Nadine telah tiada. Pecahlah tangis mereka semua. Nabila langsung berlari masuk ke ruang UGD. Dia menangis dengan kencang seraya memeluk tubuh kakaknya yang sudah tidak bernyawa. Disusul dengan kedua orang tuanya dan Tante Rani yang ikut memeluk Nadine.

Nabila menangis terus menerus seraya meminta kakaknya untuk kembali membuat kedua orang tuanya bertambah sedih. Mereka semua diliputi keadaan duka yang teramat sangat. Nabila belum sempat meminta maaf dan belum sempat untuk bermanja-manja dengan sang kakak dan kedua orang tuanya yang belum bisa memanjakan putri sulung mereka itu dan belum bisa menjadi orang tua yang baik untuknya.

Nadine yang baik hati telah pergi. Nadine yang penyayang telah pergi. Nadine yang penuh kasih telah pergi. Kini semuanya hanya tinggal kenangan.

Mungkin memang hidup Nadine hanya sampai saat itu. Dia berhasil membuat kedua  orang tuanya menyayanginnya dan berhasil membuat Nabila – adik yang paling dia sayangi – menjadi sayang kepadanya. Nadine telah pergi dengan senyumannya. Dia bahagia karena orang tuanya sudah berubah. Walaupun Nadine belum sempat merasakan kasih sayang mereka. Tapi Nadine bahagia. Dia bisa pergi dengan tenang.

Semua orang akan kembali ke pelukan illahi. Kalimat itu memang benar adanya karena banyak para ulama yang mengatakan hidup di dunia ini hanya sementara. Faktanya semua orang akan kembali ke pelukan sang Illahi. Yang harus dilakukan selama kita hidup di dunia ini adalah berbuat baik dan mengutamakan akhirat diatas segala-galanya. Karena disanalah hidup kita akan kekal abadi. Sedangkan hidup di dunia ini hanya sementara.


--- END ---

Alhamdulillah selesai sudah cerpen saya ini.
Mohon beri saran dan kritik lewat kolom komentar di bawah yaaa.
Jangan lupa tinggalkan jejak.
Thank you for reader :) :)