Setiap orang pasti memiliki sebuah keinginan.
Termasuk aku.
Sedari kecil, aku hanya menginginkan satu hal yang tidak pernah bisa aku
dapatkan hingga saat ini.
Kasih sayang Ayah dan Ibu, seperti yang telah mereka berikan pada adikku.
Aku hanya menginginkan itu. Apakah salah ?
**********
Seorang
perempuan turun dari tangga dengan tergesa. Tangan kirinya sibuk membawa
tumpukan buku sedangkan tangan kanannya sibuk membenarkan letak tas
punggungnya. Sekali lagi dia melihat jam di tangan kanannya yang saat ini sudah
menunjukkan pukul 06.45.
“Nabila, sarapan dulu Nak.” Teriak sang
Ibu dari ruang makan. Nabila dengan tergesa menghampiri sang Ibu sebelum Ibunya
mengomel lebih panjang lagi.
“Nabila udah telat Bu. Nanti Nabil makan
di sekolah aja.” Jawab Nabil pada ibunya.
Kemudian Nabil mengarahkan tatapannya
kepada sang kakak yang masih makan dengan lahapnya. “Kak Nadine, ayok
berangkat. Ini tuh udah jam tujuh kurang seperempat tahu.”
Perempuan yang bernama Nadine yang baru
saja di sapa Nabila mengangkat wajahnya kemudian menatap Nabila dengan lembut.
“Iya dek, sebentar lagi makan kakak selesai. Tanggung.”
“Kamu itu buat apa sekolah mahal-mahal
kalau bukan prestasi yang kamu dapat disana. Setiap hari yang kamu lakukan cuma
membuat Ayah sama Ibu malu. Umur kamu itu udah 15 tahun. Seharusnya saat ini
kamu sudah duduk di kelas 3, tapi sekarang malah satu kelas dengan adik kamu di
kelas 1. Apa gak malu ?”
“Kemampuan Nadine memang segitu Yah.
Nadine memang gak pernah membahagiakan Ayah sama Ibu. Nadine minta maaf untuk
itu.”
“Maaf maaf maaf. Kamu hanya bisa mengucap
maaf. Sampai saat ini aja kamu belum bisa menghafalkan satu buku dongeng yang
Ayah kasih sama kamu. Ayah udah ngasih kamu keringanan dengan meringkas buku
itu, tapi yang kamu lakukan malah menyia-nyiakan keringanan yang Ayah kasih
sama kamu.” Ucap Ibu menambahkan.
Nadine hanya menundukkan wajahnya
mendengarkan kata demi kata menyakitkan yang keluar dari mulut Ayah dan Ibunya.
Dia sudah terbiasa mendapatkan perlakuan semacam ini. Dia memang memalukan.
Bukan hanya pernah tinggal kelas sebanyak 2 kali saja yang membuat mereka malu,
tetapi kemampuan membaca dan menulis yang dia punya sama sekali tidak ada.
“Sudah sana berangkat. Ibu gak mau Nabila
mengikuti jejak kakaknya.”
Nabila tersenyum senang. Kemudian dia menghampiri
ibunya lalu mengecup tangannya. “Nabila berangkat dulu ya Bu.”
Kemudian Nabila beralih ke Ayahnya.
“Nabila berangkat dulu Yah.”
“Harapan Ayah hanya kamu sayang. Jadilah
anak yang membanggakan Ayah dan Ibu. Jangan seperti kakakmu. Kamu harus bisa
meraih prestasi sebanyak-banyaknya.”
“Siap Ayah. Kalau begitu Nabila berangkat
dulu. Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam. Hati-hati Nak.”
Nadine bangkit dari duduknya. Dia memakai
tas punggungnya kemudian menatap kedua orang tuanya yang seakan tidak perduli
dengan dirinya. Dengan perasaan kecewa yang menyelimuti hati Nadine, dia
menyusul adiknya yang pasti sudah duduk manis di dalam mobil.
Nadine masih mengingat dengan jelas
percakapan kedua orang tuanya dengan dirinya beberapa tahun yang lalu.
“Mulai saat ini, Ayah sama Ibu akan
mengurangi perhatian kami terhadap kamu sebelum kamu bisa menghafal satu buku
yang Ayah kasih sama kamu atau kamu bisa menulis ulang buku itu dan kamu
berikan pada Ayah. Sebelum kamu melakukan itu, Ayah sama Ibu akan selalu
menganggap bahwa kamu memang tidak membutuhkan perhatian kami.”
Nadine mengusap wajahnya kasar. Mungkin
memang ini takdir yang harus aku jalani. Usaha dan Doa akan selalu mengiringi
setiap langkahku untuk mendapatkan hasil terbaik yang memang hanya itu yang
bisa aku lakukan. Karena aku tidak sama seperti anak-anak lain pada umumnya.
Aku berbeda.
**********
Nadine sedang membaca sebuah buku dengan
cover biru bertuliskan Kisah Sura dan Baya. Buku yang membahas mengenai sejarah
kota Surabaya. Nadine dengan serius membaca buku tersebut. Berusaha untuk bisa
memahami isi buku tersebut. Padahal buku itu adalah salah satu buku anak-anak.
Dimana didalamnya terdapat gambar-gambar menarik dan sedikit tulisannya.
Buku itu merupakan buku pemberian ibunya
saat dirinya berumur 5 tahun. Saat itu, ibunya berharap dirinya bisa membaca di
usia ke 5 tahun. Tetapi sampai saat ini pun, buku tersebut tidak pernah selesai
ia baca. Karena setiap kali Nadine membaca dalam jangka waktu lama, dia akan
merasakan pusing, mual kemudian muntah. Jadi Nadine pasti berhenti sebelum
dirinya benar-benar mengeluarkan isi perutnya.
Sebenarnya Nadine sudah tahu penyakit yang
dideritanya. Tepatnya dua tahun yang lalu. Saat dia ditinggal sendirian oleh
kedua orang tuanya juga Nabila yang berlibur ke Manado dimana kakek dan
neneknya tinggal disana. Tetapi karena Nadine tidak bisa menyelesaikan buku bacaannya
sebagai syarat, jadi Nadine harus tetap tinggal.
Terpaksa Nadine harus tinggal bersama di
rumah Tantenya – Tante Rani. Saat itu, Tante Nadine sudah tahu mengenai alasan
mengapa Nadine harus tetap tinggal di rumah. Dia terus menerus mencari tahu
mengenai kebenarannya. Saat Nadine masih kecil sebenarnya Tante Rani sudah
mempunyai firasat mengenai perbedaan Nadine dengan anak-anak yang lain. Tetapi
dia diam saja. Dia menunggu kedua orang tua Nadine yang mengetahuinya lebih
dulu. Tetapi sampai saat itupun mereka tidak mengetahuinya.
“Nadine, sini duduk sama Tante
sayang.”
Nadine langsung duduk di sebelah Tantenya
di ruang santai. Tante Rani mengusap kepala Nadine dengan sayang kemudian mulai
bertanya pelan-pelan.
“Nadine belum bisa membaca dengan baik ya
sayang.”
Nadine menatap kearah Tante Rani kemudian
menyenderkan kepalanya di bahu Tante yang sangat disayanginnya itu. “Iya Tante.
Entah kenapa Nadine gak pernah bisa baca dengan benar dari Nadine kecil.”
“Nadine lancar nulis ?”
“Enggak lancar banget Tante. Setiap Nadine
nyoba dan maksain buat baca dan nulis, pasti kepala Nadine terasa pusing, terus
Nadine mual. Kalau Nadine gak berhenti pasti Nadine muntah. Maka dari itu
Nadine gak pernah bisa nyelesaiin baca buku pemberian Ayah dan Ibu.”
“Nadine mau ikut Tante ke Dokter sayang ?
Biar kita tahu penyakitnya Nadine itu apa. Nadine mau ?”
Nadine mengangguk anggukkan kepalanya. Dan
dari sanalah dia mengetahui semuanya. Penyakit yang menimpa dirinya membuat
Nadine menjadi tidak memiliki semangat hidup. Tetapi karena Nadine selalu ingat
Tuhan, sampai saat ini dia masih bersemangat untuk menikmati hidupnya.
**********
Nadine melangkah ke kantin sekolahnya. Dia
mengedarkan pandangannya ke penjuru arah dan matanya langsung bertubrukan
dengan Nabila bersama teman-temannya yang sedang bercanda bersama di ujung
koridor sekolahnya. Nadine tersenyum miris. Perbedaan dirinya dengan Nabila
sangat terasa jika berada di sekolah.
Nabila yang pandai, Nabila yang cantik,
Nabila yang mempunyai banyak teman dan Nabila yang selalu jadi murid kesayangan
gurunya. Sedangkan dirinya, sama sekali tidak mempunyai itu semua. Setiap hari
Nadine harus pergi sendiri kemana-mana. Dia harus berusaha keras agar menjadi
pandai, dan dia harus berusaha keras pula untuk mendapatkan seorang teman.
Tapi sayangnya sampai sekarang Nadine
belum menemukan satu teman pun yang benar-benar ingin menjadi temannya. Karena
mereka menganggap Nadine bodoh. Sudah dua kali tinggal kelas dan tidak bisa
membaca dan menulis dengan cepat pula. Mereka hanya tidak mengerti apa yang
dirasakan Nadine. Maka dari itu, sampai saat ini Nadine memilih sendiri.
“Nadine.”
Nadine mengalihkan wajahnya ke sumber
suara, dan dia menemukan Viona dengan raut wajah cemas. Nadine bergegas
menghampiri Viona. Firasatnya mengatakan terjadi sesuatu yang buruk pada
adiknya.
“Ada apa Vion ?”
“Adikmu berulah lagi Nad. Sebaiknya kamu
segera menyusul kesana.”
Nadine hanya mengangguk kemudian berlari
kearah yang sudah ditunjukkan oleh teman satu kelasnya itu. Nadine membulatkan
matanya melihat adiknya yang saat ini sudah tampil berantakan, begitupun dengan
Gita, siswi kelas X IA 4 yang merupakan kelas tetangga mereka.
“Nabila berhenti.” Teriak Nadine yang
langsung menjadi pusat perhatian seluruh siswa yang berada disana.
“Wah, pengaduan ini namanya. Kakak loe
yang bodoh itu ceritanya mau jadi pahlawan kesiangan buat adik tercinta ?” Ejek
Gita dengan tangan bersidekap di depan dadanya.
“Sebenarnya ada masalah apa hingga kalian
berantem seperti ini ?” Tanya Nadine baik-baik.
“Adik kamu tuh, percaya dirinya sangat
luar biasa. Kalian itu sama. Sama-sama bodoh. Jadi buat apa memaksakan diri
untuk menjadi yang pertama di sekolah ini. Lagian olimpiade itu kan cuma buat
anak-anak yang pintar seperti aku.”
“Aku juga pintar, jangan menyamakan aku
dengan kak Nadine. Kita berbeda.” Jawab Nabila dengan tatapan marahnya ke arah
Gita.
Nadine merasakan sakit teramat sangat di
dadanya. Mendengar kata ‘kita berbeda’ dari mulut adiknya sendiri membuatnya
merasa sangat sakit. Jika orang lain yang mengatakannya dia tidak akan
memperdulikannya, tetapi jika adiknya sendiri dia merasa menjadi seorang yang
tidak pantas berkumpul bersama mereka di sekolah ini.
“Aku memang berbeda dengan Nabila. Dia
sangat pandai. Jadi kamu jangan merendahkan adikku lagi. Jika memang kamu mau
lihat kepintaran Nabila, biarkan dia ikut olimpiade itu. Kalian bisa bersaing
secara sehat disana.”
“Pastilah aku yang menang. Nabila itu satu
darah sama kamu, jadi dia tidak mungkin mengalahkan aku karena dia sama
bodohnya seperti kamu.”
“Jangan menghina adikku lagi. Kamu boleh
menghina aku, tapi jangan pernah menghina adikku.”
“Kita liat saja, aku pasti yang akan
menjadi juaranya di olimpiade nanti. Dan saat itu, aku akan dengan puas
mengatakan bahwa Nabila itu sama seperti kakaknya yang bodoh.”
Setelah mengatakan itu, Gita langsung
pergi diikuti dengan teman-temannya yang lain. Dengan cepat, lautan manusia
yang mengelilingi mereka sedari tadi langsung ikut bubar dengan tatapan yang
berbeda-beda yang mengarah ke arah Nadine dan Nabila.
“Ini semua gara-gara kakak. Kalau aja
kakak gak tinggal kelas dan bisa membaca dan menulis dengan baik, pasti sampai
saat ini Nabila gak punya musuh. Pasti Nabila punya teman yang banyak.”
“Maafin kakak Bil.”
“Nabila benci sama kak Nadine.”
Nabila langsung berlari meninggalkan
Nadine seorang diri disana. Nadine merasa matanya berkaca-kaca. Dia tidak mau
menangis disana, tidak ada seorangpun yang boleh melihatnya menangis saat ini.
Dia tidak mau terlihat lemah. Nadine menyunggingkan senyum manisnya kemudian
melangkah pergi dari tempat itu. Dia kembali ke kelas karena tiba-tiba mood makan
dia sudah hilang entah kemana.
**********
“Assalamualaikum”
“Waalaiikumsalam sayang.”
Nabila langsung memeluk ibunya begitu
melihat ibunya di ruang makan sedang menyiapkan makan siang untuk mereka.
“Putri ibu yang cantik kenapa ? Kok
tiba-tiba meluk ibu seperti ini ?”
“Tadi Nabila habis dipermalukan sama teman
Nabila bu. Dia mengatakan Nabila bodoh seperti kak Nadine. Dia tidak
memperbolehkan Nabila ikut olimpiade karena menurutnya Nabila pasti akan gagal
karena Nabila sama bodohnya dengan kak Nadine.”
“Kalian itu berbeda. Hanya kak Nadine saja
yang bodoh, Nabila tidak. Jangan pernah mendengarkan apa yang teman-temanmu
katakan ya Nak. Yang terpenting saat ini kamu harus bisa membuat Ayah sama Ibu
bangga dan kamu harus bisa membuktikan pada teman-temanmu kalau kamu anak yang
pandai.”
“Pasti Ibu. Nabila tidak mau teman-teman
menyamakan Nabila dengan kak Nadine terus. Nabila harus bisa merubah pandangan
mereka pada Nabila.”
“Yasudah, sekarang ganti baju lalu kamu
langsung makan ya Nak. Ibu sudah membuat makanan kesukaan Nabila.”
Nabila hanya mengangguk kemudian berlari
ke kamarnya dilantai atas. Nadine hanya berdiam diri di tempat yang tidak jauh
dari ibunya. Ingin sekali dia memeluk ibunya seperti yang telah Nabila lakukan
sebelumnya. Tapi itu hanya angannya saja. Nyatanya sampai saat ini dia tidak
bisa bermanja-manja dengan ibunya seperti adiknya itu.
“Assalamualaikum Bu.”
“Waalaikumsalam.”
Nadine tersenyum miris, karena ibu tidak
menyambutnya seperti yang selalu dia harapkan. “Nadine ke kamar dulu ya Bu.”
Nadine berlalu ke kamarnya yang berada di
lantai atas rumahnya dengan tidak bersemangat. Nadine hanya menginginkan kasih
sayang Ibu dan Ayahnya. Nadine gak tahu apa yang terjadi jika dia menceritakan
penyakitnya ke orang tuanya. Padahal Tante Rani selalu menyarankan dirinya agar
menceritakan penyakitnya kepada orang tuanya tetapi sampai saat ini Nadine
tidak berani.
Bukan karena Nadine tidak mau, dia hanya
takut jika dia menceritakan penyakitnya kepada kedua orang tuanya, mereka
bertambah benci padanya. Mungkin mereka malah lebih malu lagi jika tahu mereka
mempunyai anak yang penyakitan. Atau yang lebih parah Nadine berpikir dia akan
dikirim orang tuanya ke rumah kakek neneknya di Manado dan orang tuanya tidak
menganggap dirinya sebagai anak lagi. Nadine tidak mau jika sampai terjadi
seperti itu.
Perempuan cantik ini merebahkan tubuhnya
diatas kasur. Matanya memejam rapat dan berusaha mengusir semua masalah yang
terjadi dalam hidupnya. Dia hanya menginginkan seseorang yang benar-benar
mengerti dirinya. Tetapi hanya Tante Rani-lah yang mengerti dirinya. Dan
satu-satunya orang yang mengerti dirinya malah jauh darinya. Karena saat ini
Tante Rani sudah mengikuti suaminya tinggal di rumah suaminya yang berada di
Semarang.
Tok ... tok ... tok
“Masuk.”
“Dicari Ayah sama Ibu. Disuruh makan.”
Nadine hanya menggangguk menjawab ucapan
adiknya yang menatapnya dengan raut wajah datar. Nabila hanya melihat sekilas
anggukan kakaknya kemudian menutup pintunya. Nadine bangkit dan mengusap
wajahnya kasar. Dia bergegas berganti baju kemudian menyusul adiknya ke ruang
makan.
“Gimana sekolah kamu Bil ?”
“Tadi Nabila dapet nilai sempurna di
pelajaran matematika Yah. Ulangan kemarin itu. Terus tadi Bu Guru ngasih Nabil
buku, katanya sebagai hadiah.”
“Hebat putri Ibu. Ibu bangga sama kamu
Nak.”
“Terus pertahankan prestasi kamu yang satu
itu ya sayang. Buat Ayah sama Ibu bangga selalu sama kamu.”
“Siap Ayah.”
Nadine hanya diam mendengarkan percakapan
kedua orang tuanya dengan adiknya yang memang setiap hari selalu mereka
lakukan. Pujian demi pujian selalu dilantunkan orang tuanya untuk Nabila.
Nadine tidak pernah mendapatkan itu. Padahal dia ingin sekali merasakan pujian
dari kedua orang tuanya walaupun itu hanya berarti sekecil apapun untuk Ayah
dan Ibunya.
“Ayah sama Ibu lusa mau ke Semarang. Ayah
ada bisnis disana. Nanti Ayah panggilkan Tante Rani ke rumah buat jaga kalian
berdua. Jadi kalian harus baik-baik disini.”
Nadine dan Nabila hanya mengangguk saja
membalas ucapan Ayahnya. Mereka sudah biasa ditinggal oleh kedua orang tuanya
untuk urusan bisnis. Jadi ini sudah biasa bagi mereka. Nadine merasakan
perasaan yang berbeda entah mengapa. Biasanya saat orang tuanya akan pergi
jauh, dirinya tidak pernah merasakan perasaan ini, seperti perasaan tidak rela
orang tuanya pergi. Entah mengapa.
‘Mungkin ini hanya firasatku saja’
**********
‘Nabila, mau kemana kamu.”
Nabila hanya melirik Tantenya sekilas kemudian
melanjutkan langkahnya keluar dari rumah. Sudah 4 hari orang tuanya
meninggalkan dirinya dan Tante Rani-lah yang selalu menjaga dirinya dan sang
kakak di rumah. Tapi Tante Rani selalu lebih memperhatikan kakaknya. Hal itu
membuat Nabila malas berada di rumah.
“Nabila, Tante sedang bicara denganmu.”
“Buat apa tante urusin Nabila. Urusin aja
keponakan kesayangan Tante yang satu lagi. Tante memang lebih sayang sama dia
daripada Nabila.”
Nabila melanjutkan langkahnya keluar dari
rumah. Nadine yang baru saja turun dari tangga bingung menatap tantenya yang
tampak marah di ruang tamu.
“Ada apa tante ?”
“Adik kamu tuh Nad. Benar-benar sudah
keterlaluan. Dia baru saja pergi padahal sudah malam. Saat Tante tanya dia
malah bersikap kurang ajar sama Tante.”
“Yasudah biar Nadine susul Nabila ya
Tante. Nabila mungkin belum jauh dari sini.”
“Hati-hati ya sayang.”
Nadine mengangguk kemudian berlari keluar
rumah. Adiknya pasti masih berada di sekitar perumahan ini. Karena disana tidak
ada kendaraan umum yang lewat. Jika ingin menggunakan kendaraan umum, maka
harus keluar perumahan dulu baru ketemu.
Nadine melihat Nabila yang sudah berada di
pinggir jalan. Adiknya itu bersiap untuk memberhentikan taksi yang akan lewat
tetapi Nadine lebih dulu mencekal pergelangan tangan adiknya.
“Sudah malam Bil. Kamu mau kemana ?”
“Ini bukan urusan kakak. Minggir.”
“Kamu seharusnya bilang dulu sama Tante
Rani. Dia wali kita saat ini. Kalau ada apa-apa sama kamu, pasti Tante Rani
yang akan dimarahi Ayah sama Ibu nanti. Kamu gak berpikir sampai kesana ?”
“Perduli apa sama Tante Rani. Dia aja gak
perduli sama Nabila.”
“Tante Rani itu sayang sama kamu. Kakak
juga sayang sama kamu Bil. Kami cuma takut kamu kenapa-napa. Kenapa kamu gak
pernah melihat itu ?”
“Cuma Ayah sama Ibu yang sayang sama
Nabil. Gak ada lagi. Nabil tau kok. Kakak juga benci sama Nabil karena aku
merebut seluruh perhatian Ayah sama Ibu.”
“Enggak. Kakak gak pernah benci sama kamu.
Kakak sayang banget sama kamu.”
“Sudah lepas. Nabila mau pergi kak.”
“Enggak. Kamu gak akan pernah kakak
bolehin pergi sebelum kamu ngomong sama Tante Rani kamu mau kemana.”
“Lepas Kak.” Teriak Nabila karena merasa
malas berdebat dengan sang kakak.
Tetapi Nadine tetap tidak mau melepaskan.
Karena Nabila sangat kesal saat itu, dia refleks mendorong tubuh Nadine hingga
tubuh kakaknya terdorong ke jalanan. Saat itu juga suara klakson kendaraan
bersahut-sahutan membuat Nabila berteriak dan menutup kedua matanya juga
telingannya.
Nabila membuka kedua matanya dengan
perlahan. Di depan matanya sudah banyak orang yang yang seperti sedang
mengerubungi sesuatu. Tubuh Nabila mulai bergetar. Matanya berkaca-kaca dan dia
melangkah dengan cepat mendekati kerumunan itu. Tumpahlah air mata yang sedari
tadi ditahannya. Di hadapannya, sang kakak terbujur kaku. Tubuhnya penuh luka
dan banyak darah yang keluar dari kepalanya. Nabila berteriak meminta tolong
sembari menangis. Dia memeluk kakaknya erat dan mengucap maaf secara terus
menerus.
**********
Suara tangisan bersahut-sahutan di depan
ruangan yang bertuliskan Unit Gawat Darurat (UGD). Nabila menangis paling keras
disana. Kedua orang tuanya sudah tiba di Jakarta saat Tante Rani menghubungi
mereka untuk mengatakan pada mereka bahwa Nadine kecelakaan. Ayah dan Ibu
Nabila dan Nadine tidak kuasa membendung air matanya. Ibunya menangis sangat
keras di pelukan sang Ayah.
Tante Rani juga tidak kuasa membendung air
matanya. Dia merasa menyesal membiarkan Nadine menyusul Nabila sendirian. Jika
kejadiannya akan seperti ini, dia tidak akan membiarkan Nadine menyusul Nabila.
Sementara Nabila menangis paling keras
disana. Dia yang menyebabkan kakaknya berada di UGD saat ini. Dia yang
menyebabkan kakaknya kecelakaan. Dia yang harus disalahkan disini. Jika saja
saat itu dia tidak mendorong Nadine, jika saja .. Ah Nabila merasa semua ini
salahnya. Semua salahnya.
Seorang dokter keluar dari ruangan membuat
mereka semua mendekat kesana. Dan ucapan dokter membuat mereka bertambah
menangis. Tidak ada yang bisa mereka lakukan. Mereka hanya bisa berdoa kepada
Allah SWT agar diberi kesembuhan untuk Nadine yang masih terbaring lemah di
dalam ruangan.
“Kondisinya sangat kritis, putri ibu dan
bapak sudah kehilangan banyak darah dikepalanya. Karena kepalanya terbentur
cukup keras. Ibu dan Bapak berdoa saja. Semoga ada keajaiban yang diberikan
Tuhan kepada putri Ibu dan Bapak”
Tante Rani mendekati kedua Ayah dan
Ibu Nabila dan Nadine.
“Mba, Mas. Ada yang ingin saya bicarakan
mengenai Nadine.”
“Kamu mau bicara apa Ran ?”
“Nadine menderita penyakit Disleksia
sedari dia berumur 7 tahun.”
“Apa ?” Ayah Nabila dan Nadine tidak
percaya dengan perkataan Tante Rani. Sedangkan sang Ibu masih menangis dengan
keras di pelukan Ayah.
“Iya Mas. Anak kamu sudah menderita
Disleksia dari umur 7 tahun. Penyakit yang terjadi pada Nadine adalah penyakit
yang mengganggu perkembangan baca tulis Nadine. Saya baru tahu saat Nadine
berumur 13 tahun, tepatnya dua tahun yang lalu mas. Sudah sangat terlambat
untuk diberi penanganan. Karena Disleksia yang diderita Nadine sudah sangat
parah saat itu.” Tante Rani menghela nafasnya dengan pelan kemudian
melanjutkan.
“Saya sudah membujuk Nadine untuk
menceritakan kepada Mas dan Mba. Tapi Nadine tidak pernah mau. Dia selalu
mengatakan bahwa dia tidak mau membuat Ayah dan Ibunya menjadi bertambah benci
kepadanya. Maka dari itu Nadine menyimpannya sendiri sampai saat ini.”
“Kenapa kamu gak pernah cerita sama saya
Ran.”
“Nadine melarang saya dengan alasan yang
sama Mas.”
“Ya Allah anakku.” Ucap Ibu Nabila dan
Nadine seraya bertambah menangis dengan keras. Dia merasa sangat merasa
bersalah pada putri sulungnya.
Selama ini dia mengira bahwa anaknya
memang malas untuk belajar. Maka dari itu sampai saat ini dia bisa membaca dan
menulis dengan baik. Dia juga merasa sangat bodoh sampai tidak tahu jika
anaknya mempunyai penyakit seperti itu. Dia merasa sudah sangat gagal menjadi
seorang Ibu.
Begitupun dengan sang Ayah. Dia yang
sangat merasa berdosa kepada anak perempuannya yang satu itu. Selama ini dia
tidak pernah memberikan kasih sayangnya kepada Nadine. Dia selalu menumpahkan
kasih sayang seluruhnya kepada Nabila dan dia merasa sangat menyesal sekarang.
Nabila juga merasa sangat merasa bersalah.
Tidak menyangka jika sang kakak ternyata menyimpan penyakitnya sendirian. Pasti
selama ini dia sangat tersiksa. Nabila justru selalu membuat sang kakak menjadi
sedih. Padahal selama Nadine selalu menjadi kakak yang terbaik untuknya. Dia
selalu membelanya juga selalu memberikan kasih sayangnya untuk dirinya. Dan apa
yang dia lakukan ? Dia malah membuat sang kakak selalu bersedih.
Andai waktu bisa diulang dia tidak akan
pernah menelantarkan anak pertama mereka itu. Tetapi waktu memang tidak bisa
diputar kembali. Yang hanya bisa dilakukan oleh mereka adalah berdoa untuk
kesembuhan Nadine. Jika Nadine sudah kembali ke pelukan mereka lagi. Mereka
tidak akan pernah menyia-nyiakan Nadine kembali. Mereka akan memberikan kasih
sayang mereka secara merata kepada Nabila dan Nadine.
Tetapi harapan tinggallah harapan.
Beberapa saat setelah itu. Dokter berlari kemudian masuk kembali ke ruang UGD.
Dan berita yang tidak ingin mereka dengar terucap juga dari sang Dokter. Nadine
telah tiada. Pecahlah tangis mereka semua. Nabila langsung berlari masuk ke
ruang UGD. Dia menangis dengan kencang seraya memeluk tubuh kakaknya yang sudah
tidak bernyawa. Disusul dengan kedua orang tuanya dan Tante Rani yang ikut
memeluk Nadine.
Nabila menangis terus menerus seraya
meminta kakaknya untuk kembali membuat kedua orang tuanya bertambah sedih.
Mereka semua diliputi keadaan duka yang teramat sangat. Nabila belum sempat
meminta maaf dan belum sempat untuk bermanja-manja dengan sang kakak dan kedua
orang tuanya yang belum bisa memanjakan putri sulung mereka itu dan belum bisa
menjadi orang tua yang baik untuknya.
Nadine yang baik hati telah pergi. Nadine
yang penyayang telah pergi. Nadine yang penuh kasih telah pergi. Kini semuanya
hanya tinggal kenangan.
Mungkin memang hidup Nadine hanya sampai
saat itu. Dia berhasil membuat kedua orang tuanya menyayanginnya dan
berhasil membuat Nabila – adik yang paling dia sayangi – menjadi sayang
kepadanya. Nadine telah pergi dengan senyumannya. Dia bahagia karena orang
tuanya sudah berubah. Walaupun Nadine belum sempat merasakan kasih sayang
mereka. Tapi Nadine bahagia. Dia bisa pergi dengan tenang.
Semua orang akan kembali ke pelukan
illahi. Kalimat itu memang benar adanya karena banyak para ulama yang
mengatakan hidup di dunia ini hanya sementara. Faktanya semua orang akan
kembali ke pelukan sang Illahi. Yang harus dilakukan selama kita hidup di dunia
ini adalah berbuat baik dan mengutamakan akhirat diatas segala-galanya. Karena
disanalah hidup kita akan kekal abadi. Sedangkan hidup di dunia ini hanya
sementara.
--- END ---
Alhamdulillah selesai sudah cerpen saya ini.
Mohon beri saran dan kritik lewat kolom komentar di bawah yaaa.
Jangan lupa tinggalkan jejak.
Thank you for reader :) :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkomentar yang positive tentang postingan yang saya buat :)
terima kasih sudah berkunjung ke blog saya teman :*